Sunday, October 24, 2010

thank you.

so, this is my birthday.

thank you for reminding me of all my past mistakes and failure...




daddy.
24/24/10/10

Saturday, October 16, 2010

Day #30 : sebuah titik.

memulai itu hal yang mudah. menyelesaikanlah yang sulit.

***

saya membuka laptop saya perlahan-lahan. disana tersimpan banyak hal. gambar, melodi, sinema. namun satu yang memiliki tempat khusus, folder sendiri yang bersebrangan dengan folder tugas-tugas kulian, adalah tulisan-tulisan saya.

Dalam folder khusus itu, mereka membagi-bagi dirinya sendiri ke dalam beberapa kategori. kesayangan, racauan tidak berdasar, cerita pendek, naskah film, hingga rencana sebuah cerita yang yakinnya akan suatu hari diterbitkan menjadi buku. Beberapa dari mereka memiliki titik, tapi sisanya hanya mencantumkan koma.

Saya selalu berkata pada diri saya sendiri, dan tentunya mereka--tulisan-tulisan saya--ini hanya sementara. Bahwa mereka semua mempunyai open ending, atau belum berjudul, hanya karena saya belum menemukan yang tepat untuk mereka. Bahwa mereka semua istimewa, dan suatu hari akan terselesaikan.

Gombal memang saya ini. Karena nyata-nyatanya, semakin lama mereka dibiarkan menggantung seperti itu, semakin sulit saya untuk menyelesaikannya. Andaikan mereka manusia, pasti mereka sudah berhenti bicara pada saya karena ngambek, atau keburu mati bunuh diri. dan sayalah yang sepenuhnya bertanggung jawab atas kemungkinan-kemungkinan itu.
***

hari ini, sebuah proyek panjang selesai. Proyek iseng-iseng yang harus sampai saya ulang dua kali, demi mengerti apa artinya konsistensi. Selesai seperti yang diharapkan, tanpa twist, tanpa alternate ending. Selesai. Itulah endingnya.

Tapi nyatanya, masih banyak hal-hal lain yang sudah saya mulai dalam kehidupan, dan belum terselesaikan. Mereka tiba-tiba menyerbu saya, minta diberi titik. Selama ini saya hanya membuat sebuah ilusi, seolah-olah semuanya sudah selesai. Mengarang sebuah cerita sendiri, demi menamatkan kewajiban-kewajiban, lewat jalan pintas, lalu kemudian lupa, waktu terus berputar dan saya harus terus berjalan

Seperti kata Bari dalam film FIKSI. karya Mouly Surya, "itulah bedanya fiksi dan realita. Dalam kisah fiksi, semuanya punya ending, sementara di kehidupan nyata life goes on."

***

sabar. saya sedang berjalan ke arah sana.

Friday, October 15, 2010

Day #29 : terlalu banyak.

terlalu banyak hal untuk dikeluhkan.
jalanan yang terlalu padat. harga bensin yang mahal. jalan tol yang berlubang.

terlalu banyak hal untuk diprotes.
kesenjangan sosial. ketidak adilan gender. jam kerja yang terlalu panjang, tanpa uang lembur yang pantas.

terlalu banyak hal untuk ditertawai.
presiden yang lembek. jurnalisme yang tidak akurat. dunia infotainment yang seperti parodi.

terlalu banyak hal untuk dikritik.
film yang terlalu mudah ditebak. lirik lagu yang terlalu sembrono. iklan-iklan yang tidak punya kelas.
***

semua membuat kita lupa bersyukur.

pada secangkir kopi hangat pagi ini, ucapan terima kasih yang tulus, atau tweet yang menyemangati dari orang-orang tidak terduga. pada tas kanvas berwarna orange yang lucu, kalung hand made keren murah meriah, dan jeans belel yang membuat 90an abadi.
***

"Terlalu banyak.... Terlalu banyak hal kecil untuk dinikmati hari ini..."







Thursday, October 14, 2010

Day #28 : kotak bergambar yang bisa berbicara.

lewat sebuah kotak bergambar yang bisa berbicara, dia melihat dunia, menyusun mimpi, dan mencari keseimbangan.
lewat sebuah kotak bergambar yang bisa berbicara, dia menemukan dunia baru. Dunia setelah dini hari yang tidak sunyi, dan diterangi seperti sore hari.
lewat sebuah kotak bergambar yang bisa berbicara, dia menilai. menilai kemampuannya sendiri untuk masuk kesana dan menjadi bagian dari orang-orang berukuran mini dalam kotak tersebut.
***

ia mengetuknya dengan hati-hati. seseorang di dalam sana terus bicara tanpa henti. ia pun sadar, ia telah menjadi bagian dari kotak tersebut sejak lama, hidup bersamanya. tapi tentu saja kotak itu hanyalah kotak bergambar yang bisa berbicara. ia tidak bisa diajak bercengkrama, atau bermain bersama.

Wednesday, October 13, 2010

Day #27 : adiksi.

minggu kemarin minuman teh bersoda. minggu ini kopi krim kalengan. lalu es krim premium dengan cokelat belgia dan almond. nasi bebek goreng remuk juga pernah. bahkan tidak terkecuali, minuman-slash-makanan jelly khusus anak-anak.

masih banyak lagi yang lainnya. asalkan rasanya enak, dan baru dicobanya, pasti akan membuat ia ketagihan. Lalu mulai membeli dan mengkonsumsi mereka secara sembrono dalam satu kurun waktu tertentu. sayangnya memang tidak bertahan lama. Seperti tidak pernah belajar hukum Gossen 1* di jaman SMA dulu, dia akan mengulang-ngulang sebuah kegiatan baru yang di sukai, sampai kebosanan menampar.

dan biasanya jika kebosanan sudah datang, ia tidak akan berusaha bertahan. ia akan segera menemukan yang lain untuk disukai. seperti sebuah siklus. sebuah siklus yang dibuatnya sendiri, untuk menghindari keterikatan dengan apapun, untuk menghindari ketergantungan.
***

dia berkata pada dirinya sendiri, "Apakah ini sama dengan caranya mencintai?"

menemukan seseorang yang disukai. menyukainya sampai puas. teradiksi, lalu bosan dan pergi. Tapi tentu saja pergi bukan urusan yang gampang bila berhubungan dengan hati. lama-lama dia merasa dirinya lemah, tidak berdaya. karena terkadang, ia ingin tetap disana , tapi siklus akan segera memaksanya untuk pergi. sebuah siklus yang awalnya dibuatnya sendiri untuk menghindari keterikatan, justu mengikatnya terlalu keras. ia tidak bisa mengendalikannya. dan ia takut, suatu saat nanti, dia akan berkahir hidup sendirian, hanya terikat dengan ketakutannya sendiri tentang ketergantungan.

Tuesday, October 12, 2010

Day #26 : lewat jendela tua.



sebuah bangunan di tengah kota kembali terbayang di kepala saya sore ini. semua detailnya mengingatkan saya akan beberapa potong proses pendewasaan, yang sempat mengiringi cerita hidup.
***

lantai bawah pernah menjadi saksi kesibukan yang seakan tidak pernah selesai. Datang di tengah malam. Mempercepat langkah, karena lorongnya selalu membuat saya takut. Lalu duduk bersama, dengan goal yang sama, saling bersaing demi bisa diterima.

lantai atas selalu mengingatkan saya pada rumah. rumah yang tidak pernah saya miliki di kota ini. Ruangan-ruangan yang selalu diisi wajah-wajah yang sama, seperti sebuah rumah kos yang padat penghuni, yang sesekali berkumpul di balkon untuk saling bertukar cerita lucu atau tangisan yang ditahan-tahan. Merencanakan sebuah petualang bersama, dan mulai memikirkan cerita selanjutnya untuk dijalani sendiri-sendiri.

Salah satu ruang yang kedap suara, selalu saya anggap seperti sekolah, yang anehnya membuat saya tahu lebih banyak. Belajar hal-hal baru, dan bertemu orang-orang yang kelak menjadi penting. Tempat berbisik soal rahasia-rahasia yang terekam manis seperti mix tape yang tidak disengaja.

saya masih ingat pertama kali menjejakan kaki disana. Disambut wajah-wajah asing, yang saya harap akan menyambut dengan ramah. siapa yang tahu, hanya butuh beberapa lama saja, untuk bergabung disana, duduk bersama sambil bergosip atau main gitar, menyatu dalam kata kekeluargaan. Menangis bersama-sama atas nama persahabatan, dan saling curi pandang karena merasakan kisah percintaan yang aneh satu sama lain.

***

pertama kali setelah sekian lama, akhirnya menjejakan kaki lagi disana, membuka pintunya dengan maksud yang sama sekali berbeda. Saya hampir menangis. Di tengah-tengah semua ruangannya yang kosong dan pintu-pintu yang sudah berdebu, saya masih bisa merasakan kehangatan yang pernah sangat saya sukai. Saya mengintip lewat jendela, dan tiba-tiba melihat lebih jelas melalui kaca berjamur itu.

saya harus keluar. melihat dunia, dan mencari rumah-rumah lain untuk disinggahi.

*tribute to Diponegoro 21. A place once felt like home.

Monday, October 11, 2010

Day #25 : senin.

hari senin yang biasa. Bangun pagi dengan malas-malasan. Berharap bisa menghentikan waktu sebentar agar bisa tidur lebih lama, atau memutar waktu sekalian, agar kembali ke weekend yang menyenangkan. Kadang-kadang saya berharap, seandainya saja hari Senin namanya bukan Senin, mungkin saja ia tidak semembosankan ini. Mungkin saja ia secerah minggu pagi, atau semenyenangkan jumat malam.

Tapi ini masih Senin, hari yang paling dibeci di dunia. Hari yang paling biasa menurut saya. Karena disanalah rutinitas dimulai. Dan buat saya, mungkin orang lain juga, rutinitas itu bukan hal yang istimewa. Jadi hari dimana rutinitas dimulai, tentunya itulah hari yang paling biasa.

***

hari Senin yang biasa. Dimulai dengan siaran pagi bersama partner. Lalu mengucapkan selamat pagi kepada pendengar lewat situs jejaring sosial. Sebuah pesan balasan masuk.

katanya, "Hayooo Ginna....semangat-semangat !!!"
Partner siaran saya menaikan alis sambil memajukan dagunya sedikit. Bahasa isyarat bertanya, "Siapa?" Saya mengedikan bahu, membahasakan, "tidak tahu." Bukan karena saya tidak kenal atau lupa pernah berkenalan, tapi karena tidak percaya. Dia adalah orang terakhir yang saya bisa sangka menyemangati semanis itu di pagi hari.

Saya menatap kalender sekali lagi. Jangan-jangan ini bukan hari senin. Hari senin tidak pernah berawal semanis ini.




Sunday, October 10, 2010

Day #24 : di pasar itu, dulu.

dulu, di pasar ini saya pernah merasakan sedihnya sendirian. untung hari ini bergendengan. seperti melihat potret saya yang duduk sendirian mencari. sementara dia sibuk mengurusi dirinya sendiri.

dan waktu itu waktu masih sangat panjang, untuk saya menyadari, bahwa saya membutuhkan tangan lain untuk digandeng.


Saturday, October 9, 2010

Day #23 : new geek muse.


well hello geeks!

Here's your new rival. Mike Posner. The coolest geeky musician from America. And why again you have to considered him as your new geek rival, geeks? Here's the reason

one, he had this very geeky pict of him.

two, he has this very geeky song, with synthesizer and a bit of hip-hop.

three, he's cute.

Thank's for your attention geeks!

***

"you got designer shades,
just to hide your face and
you wear them around like
you're cooler than me.
and you never say hey,
or remember my name.
its probably cuz,
you think you're cooler than me."

(Cooler Than Me-Mike Posner)

Friday, October 8, 2010

Day #22 : catatan seorang fans (hampir) radikal.

Gelisah. Mondar-mandir dalam tidur. Andaikan saya adalah sleepwalker, mungkin saya akan berjalan keliling kamar dalam tidur saya. Terbangun setiap dua jam, sambil memikirkan apa yang akan terjadi besok. Hari ini. Malam ini.

Tidak ada yang lebih indah memang membayangkan pertemuan dengan idola masa muda. Yes, tonight i'm going to Smashing Pumpkin's concert.

Semoga Billy Corgan melihat ke arah saya. Saat itu entah apa lagi yang bisa membedakan saya dengan para fans radikal yang melemparkan bra ke atas panggung panggung.

Finger crossed.

***

Dalam tidur yang tidak tenang, saya bermimpi hang out bersama Smashing Pumpkin. Billy bercanda bersama D'Arcy, dan Iha terlihat sesekali ikut menimpali. Sesuatu yang saya hampir harapkan menjadi nyata, tapi sepertinya tidak mungkin.

"Time is never time at all
You can never ever leave without leaving a piece of youth
And our lives are forever changed
We will never be the same
The more you change the less you feel
Believe, believe in me, believe
That life can change, that you're not stuck in vain
We're not the same, we're different tonight
Tonight, so bright
Tonight..."

Thursday, October 7, 2010

Day #21 : seperti memotong rambut sendiri.

Dan berjatuhanlan lembaran-lembaran rambut itu satu persatu. Hasilnya ? Terlalu pendek.

***

Saya menarik-narik poni saya ke arah wajah. Tetap saja terlalu pendek. Bahkan dalam keadaan basah. Terlalu memang. Bukan hanya terlalu pendek tadi, tapi juga terlalu kalau memotong rambut sendiri saja tidak bisa. Padahal logikanya, itu rambutmu sendiri, tanganmu sendiri juga yang menggerakan gunting, dan otakmu sendiri yang bilang harus seberapa banyak memotong.

Begitulah. Hampir sama dengan bagaimana kita mengambil keputusan untuk diri kita sendiri. Kadang terlalu pendek, hingga hasilnya hanya tindakan impulsif yang tidak ada artinya. Atau malahan tidak sengaja membuat kuping sedikit tersayat gunting, yang artinya kita kurang hati-hati.

Tapi apalah nilainya memotong terlalu pendek dan kuping yang tersayat gunting. Toh luka akan hilang, dan rambut akan segera tumbuh kembali. Susahnya adalah ketika kita tidak berani memotong rambut sendiri. Sampai akhirnya terlalu panjang, kusut, dan mengganggu pandangan.

Sampai suatu hari kesempatan sudah lewat, dan trend rambut di majalah sudah berganti. Kita tidak akan bisa kembali.

***


Well, I said whatever. My hair will grow faster than I could even notice.

Wednesday, October 6, 2010

Day #20 : an answer to future.

Talking about future always making me anxious. I'm not the kind of person that live for future, I'm more a live-for-now person. Enjoying everything to the fullest while it last.

But that's the missing point of my way of life. How much time it will last, this I'll never know.

***

Pagi ini saya dikejutkan oleh ide topik siaran yang keluar dari mulut partner siaran saya. Ide awalnya adalah menyoroti fenomena early retirement yang skrg banyak dilakukan para profesional di luar negeri. Lalu pertanyaannya adalah gambaran apakah yang ada di benak kita, tentang hidup setelah pensiun.

Saya tertegun. Bukan saja karena saya memang seringkali tidak terlalu ambil pusing soal apa yang akan terjadi, tapi saya merasa urusan pensiun hanya urusan orang yang umurnya 50 tahun ke atas. Jadi ketika ditanya bayangan kehidupan di masa itu, saya harus ekstra berpikir cepat.

And this is my answer to that :


"saya ingin hidup bersama pasangan saya. Tua dan merasa bahagia bersama-sama, tanpa menyusahkan anak-anak kami nanti. Tinggal di rumah kami yang nyaman di dearah suburban yang nyaman, sesekali bepergian ke kota dan bersenang-senang, atau berlibur ke tempat yang eksotis. Seperti sepasang nenek-kakek lincah, yang kemana-mana bersama, sambil sesekali bertengkar soal hal-hal kecil yang sebenarnya adalah kebiasaan"

Jawaban ini malah lebih mengejutkan dibandingkan apa yang saya rasakan saat ditanya. Karena di masa-masa produktif seperti sekarang, keinginan saya justru sangat bertolak belakang. Misalnya saja, untuk berkarier setinggi-tingginya, mengesampikan urusan berkeluarga belakangan, dan punya banyak uang, hanya agar tidak menjadi tergantung pada siapa pun juga. Apakah itu memang kecenderungan seseorang untuk merasa independen dalam suatu fase, lalu berpindah ke fase yang lebih settle dengan berbagi ? I really don't know. But it would be nice to live peacefuly at the end. Having somene to hold your hand until you die.

Too sentimental ? Well, i guess when it comes to life, everybody is sentimental.


***

Talking about future always making me anxious.
So many dreams, too many hopes, and adding another mistery to be revieled.


Tuesday, October 5, 2010

Day #19 : one day slacker.

the sun is shining too bright. I don't want to wake up. I don't want to shower. I don't want to go to work. I just want to be a slacker for one day, and not feeling guilty about it.

Monday, October 4, 2010

Day #18 : masa masak ?

Memotong daging, mengiris sayuran, meramu bumbu. Mencampurnya ke dalam wajan, lalu menyajikannya semanis mungkin. Tentu saja semua itu bagian dari memasak. Satu hal yang bisa jadi sebenarnya adalah hobby terpendam saya, yang dari dulu tidak ingin saya akui.
***

Kenapa saya benci memasak, banyak yang bisa saya sebutkan sebagai jawabannya. Entah karena sesudahnya saya harus mencuci piring, ditambah tangan yang bau dan baju yang kotor, atau karena menurut saya kegiatan ini terlalu feminin dan menguji kesabaran, hingga sulit sekali cocok dengan profil diri saya.
Setelah melalui proses denial bertahun-tahun, saya baru berdamai dengan memasak, kali ini. Saat melihat betapa sumringahnya wajah adik saya yang menemukan makanan hasil masakan saya di kamar kosnya--yang artinya dia tidak harus bayar makan malam. Saat menerima satu ciuman berbau nasi uduk yang saya masak, dari si pacar.
Seolah-olah memasak adalah cara saya berbagi. Saya yang selalu kesulitan menyalurkan afeksi dalam bentuk apapun, akhirnya menemukan, bahwa memasak bukan hanya sekedar meracik bahan dan memakannya. Memasak adalah sebuah proses mengumpulkan cita rasa dan emosi, hingga bisa dihidangkan sebagai sajian berbagi bersama orang-orang kesayangan.
***

Saya membayangkan diri saya mengenakan apron berenda dan topi koki. Saya memasak dengan cekatan. Di depan saya beberapa pasang mata menatap tidak sabar. Dan saat masakannya jadi, kami makan bersama hingga kekenyangan, sampai sulit berdiri.

Sunday, October 3, 2010

Day #17 : tentang mimpi.

so, i have this really weird dream last night.
About me, quitting my job. In that dream, I hug everyone, packed, and just go without any second thought.
Am i just dreaming, or this is somekind of way my mind telling me what to do?
***

Menghitung hari-hari yang sudah dihabiskan di tempat itu. 3 x 365 hari. Mungkin sudah terlalu banyak. Sampai saya lupa bagaimana caranya bergerak. Keterbiasaan kadang memang membuat kita lengah, sampai-sampai jadi bodoh. Tidak tahu lagi bagaimana menterjemahkan sikap profesional dan mengesampingkan double standard. Tidak lagi ada intrik, tidak lagi ada jenjang untuk dinaiki. Apalagi jika bicara mimpi-mimpi. Belakangan mimpi memang hanya yang hadir saat tidur. Sisanya, terlupakan.
***

In that dream i walk away. The rest i didn't know. Just hoping it was a sweet dream after all.

Saturday, October 2, 2010

Day #16 : Teori Budi.

Ditengah kebosanan menunggu di sebuah pusat shuttle service antar kota, seorang bapak mengemukakan teorinya soal salah satu nama paling common di Indonesia. BUDI. Saya mulai merasa terhibur dan mencuri dengar.
Katanya pada temannya, "Ada 7 juta Budi di Indonesia..."

Oh really? Saya mempublishnya di twitter. Sekedar yg mengecek. Yang me-retweet tidak terhitung.

Oke, saya sedikit lebay. Cuma dua sih. Tapi benar, sebegitu banyak kah Budi di Indonesia?

***

Saya jadi ingat nama lain di Indonesia, yang sempat banyak diperhatikan orang, setelah diangkat oleh seorang penulis slash artis, HERMAN--bukan nama penulisnya. Teori penulis itu, nama Herman begitu common terdengar di telinga dan diucapkan orang Indonesia, tapi bukan benar-benar nama yang ada di daftar orang yang kita kenal. Waktu membacanya saya mengerenyit. Well, saya punya paman yang namanya Herman, jadi teori itu aneh sekali. Tapi banyak sekali, hampir semua yang pernah membacanya bahkan, menyatakan kebenaran teori itu. Entah karena nama Herman adalah nama yang hanya populer di ranah fiksi saja, atau karena semua Herman itu penyendiri, atau hanya karena teori itu telah terlanjur dibukukan, atau karena penulisnya adalah artis.

Tapi diluar kenyataan yang saya anggap benar, bahwa saya punya kenalan yang benar-benar bernama Herman. Sebuah teori lain sudah kembali membuat saya bingung, dan menyangkal kebenaran. Ada 7 juta Budi di Indonesia. Banyaknya Budi di Indonesia menjelaskan teori Herman. Karena kalau Herman yang ada dalam teori Budi, pastilah Herman sudah sebegitu terkenalnya.

***

Tidak lama salah satu petugas shuttle service itu memanggil nama Budi. Dalam ruangan itu tiga orang berdiri. Salah satunya adalah bapak pencetus teori Budi.

Ya, Herman memang tidak sebanyak Budi. Tanyakan saja pada 6.999.997 Budi lainnya.