Tuesday, April 27, 2010

so, what band are you ?


Saya mendapati seonggok benda yang tidak familiar diatas tempat tidur saya. Sebuah kaos berwarna kuning, yang gambarnya saya kenali sebagai mendiang raja pop, Michael Jackson. Tidak lupa ada tulisan R.I.P. nya. Mmmmm....Well, kita semua sudah tahu dia sudah meninggal, buat apa sih diberi keterangan lagi, dicetak jadi kaos pula. Gambarnya besar, jelas, dan....mmm....sangat MJ. Sementara tulisannya juga besar, jelas, dan....mmm...sangat berusaha meyakinkan kita bahwa dia (pembuat kaosnya) adalah orang paling berduka sedunia.

Oh ya, by the way, kaos itu ternyata oleh-oleh dari pacar adik saya, UNTUK SAYA.

Sempat tersinggung sih, kenapa dari semua band dan musisi yang ada di dunia, yang mungkin dijadikan kaos, saya malah diberi yang bergambar MJ--saya bahkan tidak berpikir moonwalk nya itu keren. Tapi mau bagaimana lagi. Itu khan pemberian (jangan marah ya pacar adik ku). Salah saya juga pesan kaos band tapi tidak menyebutkan secara spesifik namanya (sekali lagi jangan marah ya, setengahnya memang salah saya).


But.....seriously, AM I LOOK LIKE A MICHAEL JACKSON's FAN ?

***

Pacar saya pernah bilang, "Taruh-taruhan, yang. Setengah dari ABG-ABG yang pakai kaos Antrhax atau Lamb of God itu, pasti ngedengerinnya Avenged Sevenfold....." Saya tertawa. Bisa jadi sih. Soalnya agak tidak masuk akal juga kalau ABG-ABG seumur adik saya, mengidolakan band dan mendengarkan musik yang umurnya mungkin lebih tua dari ayah saya. Tapi marilah jangan meng-under estimate-kan mereka. Bisa saja pengetahuan musiknya jauh lebih luas dibandingkan dengan saya sendiri, yang kebetulan berprofesi sebagai music director. Dan biarkanlah mereka berekspresi, toh masih muda.

Saya sendiri punya dua kaos band di lemari saya. Satu dari band lokal, Efek Rumah Kaca, yang karya-karyanya saya dengarkan secara religius, satu lagi dari band-legendaris-yang-kalau-saya-sebut-tidak-mungkin-tidak-kenal, The Beatles. Diantara keduanya yang saya sebut pertama lebih sering saya pakai--sampai-sampai sekarang hilang di tumpukan cucian kosan. Entah karena bahannya yang nyaman, atau hati saya yang nyaman ketika memakainya, jadi kalau-kalau ada orang yang beratanya "Eh, Efek Rumah Kaca itu yang kayak gimana sih ?" saya bisa menjawab dengan yakin begitu.

Lain dengan kaos The Beatles, yang sengaja saya beli di flea market, untuk sengaja kembaran sama pacar saya. Seringnya saya pakai untuk di rumah, dimana tidak akan ada yang mungkin mencoba me-ngetes pengetahuan saya akan band tersebut. Karena, paling-paling saya hanya bisa menyebut Lennon, Mccartney, Inggris, Abbey Road, dan Hey Jude.

Begitulah kaos band buat saya. Seperti identitas, buat apa dipakai jika tidak paham.

Saya yakin, pacar saya juga lebih senang mengenakan kaos Nine Inch Nail atau The Perfect Circle-nya ketimbang kaos The Beatles kembar kami--dan terlihat lebih tampan juga.

***

So, what band are you ?

p.s. : and once again, am i really, really, really.....like a Michael Jackson fan type ? *heart broken*


Wednesday, April 21, 2010

living (as) zombie

Dia berlari terengah-engah. Kota kosong ini terasa semakin mengerikan. Apalagi setelah teman-temannya mati.

Well, bukan benar-benar mati sih. Mereka berubah menjadi zombie-zombie ganas yang menyebarkan virus mematikan. Bukan tidak mungkin dalam hitungan jam virus ini akan menjangkiti seluruh negeri. Dia tidak perduli, yang penting ia tidak menjadi seperti mereka.

Lebih baik dia bunuh diri saja.

***

Belakangan, hari-hari saya, saya jalani sebagai zombie. Bangun pagi pukul 05.40--waktu yang sudah saya perhitungkan dengan cermat, agar saya bisa tidur lebih lama, tapi tidak sa
mpai termbat--, cuci muka-sikat gigi, ganti baju, dan secara tergesa menyetir ke kantor, di jalanan yang masih sepi, sambil humming menghilangkan "suara bantal". Biasanya partner siaran saya sudah datang duluan dan duduk manis di depan mic sambil browsing bahan siaran, saya--lagi-lagi tergesa--duduk di mic yang satu lagi, di depan mixer, sambil memilih lagu opening yang tepat. Sambil menunggu smash opening, kami akan saling mengucapkan selamat pagi, dan sedikit cathcing up cerita-cerita ngga penting. Setelah itu, kami akan siaran selama dua jam penuh, sambil sesekali keluar ke kamar mandi atau minum kopi.
Siaran selesai, saatnya office hour. Tidak lupa numpang mandi dulu di kamar mandi kantor--ya, saya mandi di kantor. Setelah menjemur handuk di balkon kantor, saya akan
mulai bekerja. Sampai jam pulang datang,--diselingi ngobrol, keluar makan siang, atau kabur keluar sebentar menyelesaikan skripsi yang tak kunjung usai--dan saya pergi pulang.
Sampai di rumah, saya akan menyetel TV, nonton sinetron sambil tiduran, makan malam--bersama pacar atau adik--, lalu tidur.
DAN......mengulang kegiatan diatas lagi.


photo by : Duane Michals (check his other awesome works here)


Well, i'm no different with those zombies. I'm soulless. I forgot how to have fun.

Saya lebih ingin menjadi tokoh lain dalam film-film thriller itu. Tidak menjadi pahlawan yang bertahan sampai akhir dan menyelamatkan bumi, tidak apa-apa. Mungkin asyik juga menjadi orang yang pertama kali menyadari pergerakan zombie, tapi tidak dipercaya semua orang, dan diasingkan keluar negeri oleh agen pemerintah, bebas dari serangan zombie.

Karena jelas saya bukanlah pahlawan. Menjadi pahlawan bagi diri sendiri saja susah.

***

zombie-zombie itu pun mendekat, dengan mata mereka yang kosong, lidah menjulur seperti terkena rabies, dan wajah pucat menuju busuk. Ia menahan napas, sambil menembakan senapan yang belum pernah disentuhnya sebelumnya, secara random. Keinginan bunuh diri hilang seketika, lagipula Ia tidak punya nyali melakukannya.

Sayang, ternyata tembakan tidak mempan, mungkin juga pelurunya hanya terbuang sia-sia, karena dia menembak asal. Sekarang zombie-zombie itu meraih kaki dan tangannya. Ia menendang dan memukul, mereka tidak bergeming. Dan ia tergigit. Dalam transisinya menjadi zombie, semua kisah hidup dan emosi yang teraduk berputar di depan matanya. Dia berharap melakukan lebih banyak hal berguna dan pergi ke lebih banyak tempat sebelumnya, untuk diingat di saat-saat seperti ini.

Sayang, dia memang bukan pahlawan dari cerita ini, Ia pun berubah menjadi seperti yang lainnya, bergerak mengikuti naluri, bukan pikiran, dengan mata kosong. Bukannya tidak pernah dia bergerak begitu, tapi kali ini berbeda. Hanya saja, menjadi zombie membuatnya kehilangan identitas.
Kini, ia sama dengan yang lain.

a single cup of froyo.

Fro-Yo. Frozen Yoghurt.
Dingin, asam mengigit, dengan semu manis, renyah, atau asam lagi, tergantung topingnya.

Sama seperti rasa menikmatinya sendirian sepulang kerja, hasil keinginan impulsif di sore hari. Asemmmm, seperti iri melihat segerombolan perempuan yang menikmatinya bersama-sama, sembari saling tukar icip toping masing-masing. Renyah, karena rasanya garing juga tidak punya teman ngobrol, selain twitter dan BlackBerry Messenger.

Untung saja saya memilih toping longan hari ini. Rasa akhirnya manis. Baru saya ingat, sudah lama sekali tidak membiarkan saya menyenangkan diri sendiri. Ternyata rasanya manis.

a single cup of longan toped froyo, and a single right moment of sweet me time. Maybe, that's all I need.