Wednesday, February 15, 2012

"if there is a god, i know he likes to rock."

MOZ. That's how people sometimes called him, or famously known simply as : Morrissey. This guy has very much well known with his contribution in how good the Smith rule the music scene in the 80's, and moreover alone as a solo singer/musician.


Btw, why the hell i open this post with such a cliche background of 'WHO IS MORRISSEY'?! OF COURSE YOU (and everyone that concerns enough about counter culture movements and indie music) KNOW(s) MORRISSEY! As in fact, most of us considered him as God.

And attending his concert, for some people, is the main purpose in life.


 ***

Sebuah kehebohan terjadi di timeline twitter saya pagi ini, dimana hampir semua orang bereaksi sama terhadap berita konfirmasi konser tunggal Morrissey di Jakarta. Semuanya terjebak dalam sebuah histeria berjamaah, menyebut-nyebut bahwa akhirnya sang idola bisa ditonton live sebelum mati (maklum, si opa yang stau ini memang sudha berumur--dan beberapa yang menyukainya juga sudah cukup berumur, ditambah sebuah spekulasi tentang kiamat 2012 yang sedikit banyak dipercaya akan terjadi). Saya juga terlibat di dalamnya. Kebanyakan hanya karena ingin menyebarkan berita gembira ini, sisanya memang kepingin nonton juga, meskipun saya bukanlah salah satu hardcore fan-nya.

Ada yang (lebay-nya) langsung tremor, teriak-teriak tidak karuan, atau tiba-tiba bengong di tengah kegiatan apapun yang sedang dilakukannya pagi tadi, karena terlalu gembira. Well, Morrissey is coming to town, what should i say. Sesuatu yang sudah menjadi harapan umat-nya di Indonesia mungkin semenjak dua dekade silam, dan tidak banyak yang optimis hari ini akan tiba.

Saya tidak akan berkomentar negatif tentang apapun reaksi orang hari ini, karena saya tahu, mungkin saya juga bisa saja melakukan hal-hal gila di atas (atau bahkan yang lebih gila) kalau saja yang datang ke Indonesia itu adalah Coldplay atau Manic Street Preachers. Dua band yang lagu-lagunya merasuki kehidupan saya semenjak pertama kali saya dengar, yang lalu mulai menjadi obsesi pribadi paling tinggi, di atas hal-hal duniawi lainnya. Senang rasanya melihat teman-teman dan beberapa orang yang saya tahu memuja Morrissey seperti saya memuja Chris Martin, akhirnya akan mencapai titik tertinggi itu beberapa saat lagi.  Mungkin hal ini juga yang membuat istilah 'naik haji kecil' itu populer. Sebuah istilah yang menggambarkan pencapaian seorang fans fanatik, ketika akhirnya bisa menonton idola-nya, live and upclose. Sebuah ekspresi pencapaian tertinggi dari karier para gigs freaks dan music geek, yang kali ini tampaknya adalah kesempatannya para pemuja Morrissey.

Mungkin beberapa orang--obviously haters--akan merasa, ini hanya sebuah obsesi sinting dari segerombolan cult pemuja Tuhan gadungan, dan terpaan budaya populer yang terlalu tinggi, tapi apa sih yang salah dari berekspresi terhadap sebuah hal yang paling kita sukai di dunia ? Bukankah dalam hidup itu perlu ada sebuah pencapaian--apapun itu bentuknya ? Dan bukannya ekspresi itu adalah bentuk paling umum dari emosi, yang sayang sekali jika hilang dari hidup ini ?

Jika tuhan itu memang ada, saya yakin ia tidak akan keberatan berbagi umatnya dengan para musisi yang menyentuh emosi ini. Karena toh ini adalah masalah apresiasi, bukan dualisme kepercayaan. Persis seperti apa yang Billy Corgan dari Smashing Pumpkins (yang sudah saya tunaikan ibadah haji kecil-nya dua tahun lalu, dan rasa-rasanya beberapa teman saya masih ingat bagaimana wajah histeris saya muncul secara close up di big screen sebelah panggung, karena saya ada di barisan terdepan, dan terlihat paling histeris), katakan lewat salah satu lagunya :

"If there is a God
I know he likes to rock
He likes his loud guitars
And his spiders from Mars..."


Amen, to that.

***

I'm still waiting for my time to come. To scream histerically at Coldplay's concert front row, and to shed a tears as Manic Street Preachers begin to play the first tune in front of my very eyes. 

*finger crossed*

***
 

 Laneway Festival Singapore 2012 :
Where I fulfilled most of my biggest obsession in music
Feist, Chairlift, M83, etc.

Tuesday, February 14, 2012

valentine's (not) suck : a present from the universe.

Valentine's day suck.

Membuat para laki-laki sibuk dengan serba salah, berusaha menebak-nebak apa yang pasangannya inginkan (atau tidak inginkan). Sedangkan para perempuan, berharap-harap cemas, apakah pasangan mereka cukup peduli (dan tidak takut jadi banci) untuk memberikan kejutan manis.

Saya sudah melewatkan proses menyebalkan itu cukup lama (and save my ex BFs a lot of energy). Tapi harus saya akui, tahun ini Valentine sepertinya berhasil membunuh keskeptisan saya.

***

Semalam, seorang teman menghubungi lewat sms dan telepon. Minta saran, lagu apa yang kira-kira bagus dipakai mengiringi Valentine's Day. Sisi pecinta musik saya langsung merasa tertantang, tapi sisanya--sisi anti-valentine--mulai berpikir bahwa ini adalah sesuatu yang konyol. Membantu seseorang, untuk melakukan sebuah ritual yang tercipta hanya karena sebuah legenda seorang martir--yang bahkan tidak berhubungan. Tapi toh, saya tetap mencarikan lagu untuknya.

Dan di tengah-tengah semua proses itu, diam-diam saya berpikir, apa benar Valentine itu useless?

Di luar semua ketololan bahwa merayakan Valentine itu artinya membeli benda-benda berwarna pink muda atau cokelat berbentuk hati beraroma mawar, yang belum tentu rasanya enak, saya mulai merasa, mungkin saja Valentine ini diciptakan dengan maksud tertentu. Seperti, misalnya, membuat orang yang kita sayangi tersenyum.

Siapa sih yang tidak tersenyum saat menemukan setangkai mawar di pintu depan rumahnya ? Atau saat mencium aroma pancake yang dibuat khusus sebagai tanda cinta, dan saat menerima sebuah bingkisan berisi boneka binatang yang enak dipeluk, lengkap dengan kartu ucapan bertuliskan 'xoxo'. Lalu sebagai timbal baliknya, melihat si penerima tersenyum seperti itu, siapa yang tidak akan tersenyum lebih lebar. Semua effort terbayar. sisanya hanya perasaan yang hangat karena bisa sama-sama berbagi senyuman.

Saya sih bukan tipe perempuan yang luluh oleh mawar, pancake, dan boneka binatang (iya, ini #KODE untuk yang ingin mengirimi saya kado Valentine), tapi saya lemah sekali dengan satu hal yang bernama 'ketulusan'. Apapun alasannya, bagaimana pun caranya (tapi please, jangan mawar atau teddy bear), asalkan diawali dengan sebuah niat tulus untuk membuat yang disayang tersenyum, semuanya akan termaklumi.

Saya pun tersenyum, mengirimkan satu judul lagu untuk teman saya tadi, dan berharap, semoga esoknya dia dan pasangan benar-benar bisa bertukar senyuman yang bermakna. Lebih dari sekedar ritual Valentine itu sendiri. .

***

And this morning, i smell a conspiracy between Valentine's Day itself and the universe. They sent me a special personalized valentine present. When the present passing me by on the highway--trying to make a statement--all i could do was capturing it right away.


"I really wanted to share it with you, 
and the thoughts of it made me smile... even wider."

***

"Before I die I'd like to do something nice
Take my hand and I'll take you for a ride
You hit me yesterday because I made you cry
So before we die let me do something nice

I want to buy you something but I don't have any money

No I don't have any money
I want to buy you something but I don't have any money
No I don't have any money

And if I had a car I would trade in my car

If I had a gun I would trade in my gun

Honey we ran from the country,
when we rushed to the city
And now there's nothing to be done
there's nothing to be done..."
--The Drums, on : Money
.