Sunday, May 25, 2008

lagu yang bicara

Saya tenggelam dalam sebuah kenangan yang aneh karena sebuah lagu. Sebuah lagu yang dulu setiap pagi saya putar untuk menemani saya mandi (ya...dulu saya ‘mandi’). Saya mengingat kenangan yang dibawa oleh lagu itu dengan senyum miris.

 Ambisius dan perfeksionis.

 Teman-teman sering menjuluki saya begitu, dulu. Entah itu pujian atau cibiran. I took it as a compliment. Menurut saya bagus memiliki ambisi. Apalagi disertai sebuah standar tertentu akan setiap hal, yang tidak ada seorang pun bisa merubah. Pasti saya bisa mengalahkan dunia. ‘I can beat the world...’ seperti salah satu bait lagu itu.

 Hampir saya lupa saya pernah punya ambisi. Beberapa waktu belakangan ini saya sibuk tenggelam dalam kepura-puraan dan kestagnasian yang mulai membuai dengan rasa nyaman yang semu. Tentu saja diiringi dengan beberapa buah lagu dengan lirik-lirik semacam ‘what the hell is going on...’ atau ‘lonely lonely that is me...’.

 Pantas saja saya merasa selalu ada yang salah. Saya meninggalkan semangat saya entah dimana dan sudah menyimpan harapan terlalu lama. Saya diam. Saya sudah lupa kapan terakhir kali punya ambisi.

 Sekarang mungkin saatnya untuk menjadi ambisius dan perfeksionis lagi. Terutama dengan menentukan bagaimana jalan hidup saya nantinya. Berkarya pakai hati. Itu bahasa teman saya. Tapi mungkin boleh saya pinjam untuk melembutkan dan merangkumkan dua kata tadi. Mulai berkarya lagi, dan membiarkan hati saya bicara lagi.

 For the sake of the old times...

Yang saya pinjam untuk membangunkan saya dari tidur kesiangan.

 

 

 

 

Thursday, May 1, 2008

only time knows

"saya ingin ketemu kamu..."
"Jangan sekarang ya...saya lagi labil. Don't have to rush.."
"What's the meaning of rush anyway... only time knows.."

 Hanya waktu yang tau apa buru-buru itu. Waktu membantu kita mendefinisikan, dan kita membuat standar. JAdilah kita selalu terkejar-kejar. Padahal apalah artinya terburu-buru jika disejajarkan dengan seluruh waktu yang kita miliki di dunia. Tidak banyak. Itu juga mungkin. Because, only time knows...

sentimentilisme dan melankolialisme

Saya sedang merasa sentimentil dan melankolis.

Kemarin saya bicara dengan seorang teman via online...Saya bicara tentang hal-hal yang jarang saya utarakan tapi selalu terpikirkan...Saya bicara tentang cinta, kesepian, dan rutinitas.

Beginilah sepotong dari pembicaraan panjang kami malam itu,

"Kemarin saya lihat kamu di Bandung, naik mobil VW. Jahat ga bilang-bilang pulang teh.."
"Ga mungkin weekdays saya ada di Bandung, Gin.."
"Bukan kemarin sih, beberapa hari lalu, minggu tepatnya.."
"Kalau begitu itu saya."
"Huh bukannya bilang kalau lagi di BAndung, saya kangen ngobrol sama kamu"
"Hayu atuh ketemuan...jika ada kesempatan dan kamu tidak bobogohan, ya"
"Hahaha sudah habis euphorianya, Mam. Sekarang saya lebih banyak sendiri. Padahal saya paling phobia kesendirian."
"Wah kemana teman-teman? Penebeng-penebeng itu? Seperti saya dulu..."
"Ke kampus sih tetap bareng. Tapi khan sudah jarang ke kampus. Selebihnya ya sendiri-sendiri..Payah, mau ketemu temen sendiri saja susah."
"Masa..."
"Iya..eh kamu tau gak si Eceu lagi menghilang. Saya kangen sama dia, sudah 2 bulan ga ketemu dan ngobrol."
"Bahaya oge...kenapa dia ngilang?"
"Entah. Tadinya juga saya khawatir. Tapi setelah saya pikir-pikir, yasudahlah biar saja kalau maunya ngilang begitu. Saya jadi terpikir sebuah teori : setiap orang kadang ingin menghilang dan sendirian saja.With no particular reason."
"Bosan mungkin. Sama rutinitas. Dan teman itu bagian dari rutinitas..."
"Itu sih ya alasan paling masuk akal. Bosan sama rutinitas. Tapi kalau teman sudah jadi rutinitas, kayaknya ada yang salah deh. Hyyyy....takut pasti saya juga memilih kabur.."
"Itulah yang membuat saya selalu menghindari komitmen.Merasa dapat pembenaran nih.."
"Haha..silahkan saja. Semua orang sah membuat alasan yang dianggap benar. Tapi memang benar, rutinitas dan komitmen itu mengerikan kalau kita miliki bersamaan. Pertemanan dan percintaan, kadang berubah jadi rutinitas saja. Pasti inginnya menghilang. Tapi sulit...sudah ada tanggungan berupa komitmen. Membingungkan ya komitmen itu, mau dibawa kemana sih? Jadi apa?"
"Memang..padahalnya dasarnya manusia hanya butuh rasa sayang dan perhatian...kenapa komitmen dibawa-bawa ya......"

Hmmm saya pikir benar juga. Rasa cinta dan sayang bisa kita dapat (atau kita beri) dari mana (dan ke mana) saja. Berkomitmenlah untuk selalu berbagi. Dan rutinitas pasti jadi sebuah omong kosong.

Itu saja.

Saya masih merasa semtimentil dan melankolis. In a different way. Kali ini saya habiskan waktu dengan diri sendiri saja.