Wednesday, August 25, 2010

me and little pathetic thing called one way anger.


Membabi-buta seperti orang psycho adalah hobi saya dulu. Buat saya, kesalah pahaman itu tidak boleh bertahan lama. Cara penyelesaiannya adalah konfrontasi di tempat. Dan di masa itu, tidak ada apapun, atau siapapun yang bisa mencegah proses itu terjadi, kapanpun, dimanapun. Waktu itu saya berpikir, semakin banyak waktu yang dihabiskan untuk memikirkan secara sepihak sebuah masalah, yang sebenarnya melibatkan dua (atau lebih) pihak, semakin lah kita akan terperosok dalam perseteruan yang hanya akan membuat capek hati. Saya memilih untuk mencari solusi.

Satu hal yang saya lupakan adalah, mungkin tidak semua orang siap untuk menerima jalan pintas yang saya tempuh. Karena dalam kamus solusi versi saya, 'waktu' dan 'berpikir' tidak ada di dalamnya. Beberapa orang merasa terpaksa, dan akhirnya mengambil keputusan yang tidak mereka inginkan, hanya karena saya memaksa.

Saya adalah si pembenci proses, ketika orang lain mungkin hanya butuh sedikit jeda, dan saya tidak bersedia menunggu.

***

Tapi kali ini, dalam diam saya menunggu. Sabar sekali, karena ada satu hal yang diam-diam ingin sekali saya ketahui, sejauh mana kamu berani melakukan sesuatu untuk saya.

Tentu saja di luar kasak-kusuk tidak adil mu, dalam mempertahankan posisi. But hey, this is not politics. Tidak ada yang namanya pencemaran nama baik atau pembentukan sekutu. Dan tentunya tidak ada double standard.

What I need is impulsive act.

Because when you're impulsive, it means you're true inside.

***

I'm done sitting and waiting. I guess I prove myself wrong about you. I'm gonna leave.






Monday, August 9, 2010

satu hal.satu kata.

saat mendengar berita itu, saya langsung berlarian pulang. Ingin secepatnya sampai di rumah, agar saya bisa membuktikan sendiri, bahwa dia baik-baik saja. Gagah, tegas, dan masih berdiri tegak.

Sayangnya, saya harus berbelok dulu ke sebuah tempat dimana Ia berbaring. Tidak lemah, masih tegas dan gagah. Hanya saja di matanya saya melihat ketakutan.

Saya menangis, dan membisiki di kupingnya, "ayah, kakak pulang..."
***

Saya selalu menggambarkan, membicarakan, dan menuliskan dia sebagai tokoh antagonis dalam hidup saya. Meskipun saya lahir dari buah tangan dan aturan-aturannya saya mengganggap sikap diktatorialnya itu adalah hal yang paling traumatis. Kata-kata yang selalu harus dituruti, perbuatan yang terkadang menyakiti hati, dan kasih sayang yang tidak pernah diberi tahukan. Setidaknya lima tahun belakangan ini, saya semakin merasakan aura antipati. Entah apa yang pernah diperbuat atau dikatakannya pada saya, satu yang selalu saya percayai, dia berhutang satu kata pada saya : MAAF. Dan satu hal yang ingin sekali saya dapatkan darinya : sebuah pengakuan.

Tapi sebagaimana pun antagonis dirinya dalam cerita kehidupan saya, saya tahu saya tidak pantas menyebutnya begitu. Saya ada disini, karena dia selalu ada di belakang saya, dengan caranya sendiri. Saya pun bisa sampai di titik ini, secara langsung ataupun tidak, adalah karena pemikiran saya, yang mulai berkembang berkat beribu-ribu perselisihan dan perdebatan di antara kami.

Saya mulai berpikir. Mungkinkah untuk mendapatkan permintaan maaf itu, saya harus meminta maaf terlebih dulu. Dan untuk diakui, mesti kah saya yang mengakui terlebih dahulu, bahwa keberadaannya dalam hidup saya, ternyata memiliki arti yang luar biasa. Lebih dari sekedar pemeran antagonis.

Hanya satu kata yang menghalangi saya menyadari dan mau melakukan semua itu : KEANGKUHAN. Satu sikap, yang diturunkannya kepada saya, lewat darah yang mengalir di nadi saya hingga saat ini.

Ya, sebegitu miripnya kami, hingga sulit sekali untuk berdamai.
***

Dan ayah berbisik sambil memeluk saya, "kakak, pulanglah lebih sering. Ayah kangen."

Monday, August 2, 2010

Men + Tawa + i = hidup.


sometimes life is just unpredictable, menyerang dengan kejutan-kejutan saat kita lengah. Menghalang-halangi rencana yang sudah disusun matang. Menyebalkan ? Pasti! Mengutip kalimat seseorang, seperti ini rasanya :

"kayak ditabrak truk, pas lagi nongkrong di warung kopi, di dalam kampung yang jalannya ngga cukup buat dilewatin truk...

atau lagi nyebrang, tiba-tiba ditabrak boeing 737...

atau lagi ngerokok di genteng, terus ada orang pakai parasut mendarat di samping kamu, trus ngomong bahasa Jerman."


Dia serius waktu bilang begitu. Memang orangnya 'serius' menghadapi hidup. Andai saya bisa sedikit lebih seperti dia.

Mentertawai, bukan mengutuki hidup.



be good to me, Monday.

Some people are keep saying, "I hate Monday", As if Monday is always very cruel to them. But, Hey, what's wrong with Monday? It could be sweet too, you know..

In my case, literally SWEET.
***

sweetness #1 : Cereal & cold Milk

Partner siaran saya menyodorkan sekotak cereal siap makan, lengkap dengan sendok dan susu putih. I love cereal. Bahkan cereal bisa membuat saya menyukai susu yang biasanya saya benci. And I love having a sweet breakfast with a sweet friend.

Thank you. :)
***

sweetness #2 : Croissant, frapuccino, and chocolate cookies.

Kami (saya dan--masih dengan--partener siaran saya) membuka bungkusan besar itu. Seperti yang dijanjikan, seorang pendengar morning show kami, mampir membawakan sarapan. Bahkan orangnya tidak sempat kami temui. Hanya ada secarik kertas robekan kecil, "selamat sarapan :)." Mendengarkan ocehan kami saja sudah sweet. Masih ditambah lagi sarapan pagi ?

Thank you. :)
***

sweetness #3 : chocolate-wafer bar.

"Mari kita makan sama-samaaaa....." seorang teman menyodorkan satu bar cokelat, hadiah pernikahannya dari seseorang. Rasanya super manis. Entah memang begitu, atau manisnya bertambah karena kehangatan berbagi?

Thank You. :)
***

It's still 12.30 AM, and so many sweetness have occured. I hope another half of the day could be even sweeter.

Just like those cynical-hopeful twitter posts in my timeline, "Be good to me, Monday..."

monologue.

so I guess I failed my project, #30harimenulisblog...

Membuktikan bahwa bagaimana pun, saya tidak bisa menulis dengan cara dipaksa. Sekaligus pertanda, satu lagi kegagalan terjadi di tahun ini, padahal ramalan zodiak bilang ini tahun keberuntungan saya.

Well, whatever the prophecy said, it's not gonna work unless we fight harder...

***

oh ya, that was a monologue.