Monday, December 31, 2007

rasa-rasanya..


ini idenya tiga orang saudara kembar yang beda karakter gitu deh, tapi saya menerjemahkannya sebagai saya, dan saya saya yang lain. Well, banyak yg menunggu ingin keluar tampaknya...

hmmm...rasa-rasanya memang saya agak kurang oke menjadi model. Tubuh kurang proporsional. Wajah juga. Huh...! thx untuk fotografernya yang telah membuat tampilan saya sedikit membaik..dan...well...MEMBURUK...

*photographed by : iko

sudahlah

Saya memejamkan mata karena kelelahan.

 

Kata teman saya hari ini saya sangat enerjik. Mondar mandir kesana kemari, tertawa-tawa akan semua hal, dan berbicara dengan keramah-tamahan yang berlebih kepada semua orang. Well, pantas saja bukan kalau sampai saya kelelahan di akhir hari.

Dalam pejaman mata itu, saya membayangkan dia. Matahari pagi, siang, sore—bahkan di malam hari dia masih matahari—yang sudah lama sekali saya rindukan sinarnya. Saya pikir dia mungkin sekarang sedang melakukan hal  yang sama dengan saya. Memejamkan mata karena kelelahan. Saya melihat dia hari ini sangat enerjik. Mondar mandir kesana kemari, tertawa-tawa akan semua hal, dan berbicara dengan keramah-tamahan yang berlebih kepada semua orang. Well, pantas saja bukan kalau sampai dia kelelahan di akhir hari, seperti saya.

 

Kami seperti orang gila...

 

Setidaknya dia pikir dia begitu, yang menurut saya sama sekali tidak. Saya lebih gila. Berusaha bersikap biasa—tapi dengan berlebihan yang akan membuat orang yang sedikit peka tahu ada yang tidak beres—padahal saya kebingungan. Kebingungan menghadapi perasaan saya sendiri. Tidak enak rasanya ketika mengetahui seseorang yang paling saya sayangi kehilangan arah, dan saya tidak mampu menjadi sandarannya. Karena ketika dia kehilangan arahnya, saya pun begitu. Kehilangan satu sosok yang sudah sangat akrab, digantikan dengan sebentuk wajah putus asa. Saya kesal tidak bisa menjadi sesuatu yang lebih berguna. Hanya duduk mematung di sebelahnya, berusaha meyakinkan dia bahwa saya ada. Saya ada dan menemaninya dengan cara saya yang sampah, sehingga dia tidak perlu merasa sendirian lagi. Entah apakah keberadaan saya berarti untuk dia, tapi saya hanya bisa melakukan itu.

 

Lalu dari keheningan itu tiba-tiba tercipta sebuah tawa. Entah berasal dari ceritanya yang sangat lucu—seperti biasa—atau karena kami menertawakan perasaan kami masing-masing. Kami merasa tidak pantas mempertanyakannya. Kami memutuskan untuk melanjutkan tertawa-tawa dan pergi ke luar bertemu orang-orang. Kami mondar mandir kesana kemari, tertawa-tawa akan semua hal, dan berbicara dengan keramah-tamahan yang berlebih. Entah berapa orang yang kami temui malam itu. Seingat saya banyak sekali. Saya juga ingat satu hal. Semua orang menatap kami dengan lega. Tampaknya bersyukur melihat kami sudah tertawa dan gembira lagi.

 

Sedangkan saya, saya punya alasan saya sendiri untuk merasa lega. Setidaknya saya tidak perlu lagi mempertanyakan dan berusaha memberi tahu apa pun lagi. Toh sekarang kami sudah tertawa-tawa lagi...

 

 

‘...Be patient, try harder, I’ll help u in my own way

    See clearer, be happy, honey we could be all right

    And this is all i can do, from now u’re on ur own...’

    ( All I Can Do—Club 8 )

 

 

 

hujan dan kesendirian

Saya menangis di tengah hujan dan kesendirian.

 

Sebuah kombinasi yang sangat pas memang. Hujan, sendirian, lalu kesepian. Saya membuka sebuah album kenangan berisi kisah cinta kekanak-kanakan yang saya miliki dahulu. Entah kenapa saya merasa album itu sudah cukup lama tidak tersentuh dan harus dibuka malam itu. Bukan kombinasi yang tepat sebetulnya. Hujan, sepi, sendiri, dan kenangan... Seperti yang saya duga, hanya akan membawa kegalauan. Saya terus membuka album itu. Tokoh di dalamnya seolah bergerak-gerak. Saya sedang menonton sebuah film pendek, berisikan sebuah perjalanan. Perjalanan panjang berumur pendek yang harus diakhiri dengan kalimat benci.

 

Saya ingat pernah mengirim sebuah kartu bertulisan kurang lebih “love is a journey, and I’m glad to have this journey with you.” Picisan. Teman saya membacanya keras-keras dan menjadikannya ejekan selama beberapa lama. Tapi memang tak pernah sama artinya ketika memang ditujukan untuk seseorang. Dia menyimpannya di sebuah tempat yang rapih, membawanya kemanapun dia pergi. Itu jimat, katanya.

Sebulan setelahnya, dia merobek kartu itu, dan melemparkannya di depan muka saya—yang juga masih saya ingat betul. Saya tidak pernah melihat kebencian yang begitu besar—well mungkin lebih tepatnya kekecewaan—dari tatapan seseorang. Tapi dia melakukannya malam itu, dan saya seketika takut. Takut mengambil jalann yang salah.

 

Saya ingat saya pernah memohonnya untuk mengerti saja dan tidak pergi. Saat itu dia terlihat sangat menginginkannya, tapi saya tahu hatinya tidak. Lalu dia mengabulkan permintaan saya. Saya tahu itu pasti terjadi.

Beberapa lama kemudian saya menemukan saya menginginkan hal yang sama seperti yang diinginkannya dulu. Dia memohon dan meminta. Menagih janji, menangis, dan merengkuh saya dalam-dalam. Saya kosong, tidak bergeming.

 

Saya ingat saya pernah menyanyikan sebait lagu Grow Old with You. Saya bilang lagu itu untuk dia. Waktu itu saya mempunyai sekelebat gambaran keluarga yang saya miliki sendiri. Dia ada di dalamnya.

Beberapa waktu sebelum cerita itu berakhir, kami duduk berdua di pinggir jalan. Makan siang seperti biasa. Yang tidak biasa, katanya pagi itu dia melihat gambaran masa depannya. Bak mandi dan jamban saksinya. Katanya saya harus melengkapi gambaran itu.

 

Saya ingat dia selalu menjadi orang yang tidak tahu kompromi. Saya memakai sebuah jaket buerbunga yang sangat dia benci. Dia mengeluh terus dan saya tidak mau dengar. Bertengkar. Gara-gara sepotong jaket berbunga warna orange. Akhirnya saya tetap tidak mau membuka jaket itu. Dia cemberut, tapi tetap berjalan di belakang saya.

Beberapa waktu kemudian saya ingin memakai jaket itu lagi. Tapi saya tidak bisa menemukannya dimanapun. Saya teringat kisah jaket berbunga warna orange. Tampak dia tertinggal di sebuah kendaraan beraroma bunga berwarna orange.

 

Saya ingat suatu siang yang panas. Saya terus-terusan menengok ke belakang. Menunggunya berpindah ke samping saya dan menggandeng saya. Dia tetap berjalan di belakang saya.

Saya selalu minta dia untuk berjalan di samping saya. Tapi dia lebih suka melihat saya dari belakang. Menjaga saya dari belakang. Begitu katanya.

 

 

 

Saya ingat berjalan di sebuah keramaian dan menemukan seseorang yang suka sekali mengabadikan moment. Dia mengeluarkan sebuah kamera dari kantongnya, dan dengan tanpa alasan membidik ke arah crowd. Saya berdiri di sebelahnya memandangi.

Saya juga suka mengabadikan moment. Namun saya melakukannya dengan mata dan hati.

 

Maka saya simpan semuanya dalam satu album. Semoga dia juga punya album miliknya. Semoga dia juga belum mengganti posisi album itu di urutan teratas. Sebab ketika dia pikir saya telah menukarnya dengan album yang lebih baru, dia hanya lupa. Saya sangat suka mengabadikan moment...bersama dia.

 

 

 

 

when i wake up

Saya terbangun dengan sayup nyanyian. Sudah lama saya tahu lagu itu, tapi saya tidak tahu lagu itu akan terdengar begitu indah. Saya tertawa mendengarnya bernyanyi. Well...not that great I have to admit. Dia juga tidak hapal liriknya, apalagi saya.

 
Hmmm pagi yang indah. Pagi pertama dalam beberapa bulan terakhir, dimana saya terbangun dengan senyum ( I always hate waking up early in the morning ). Merasakan perasaan akrab yang sudah lama saya lupakan. Love isn’t the right word. Tapi saya juga bingung jika harus mendiskripsikannya lebih dalam. Yang jelas rasanya hangat sekali, sekaligus menyenangkan.

 Saya tengok dia sedang bernyanyi. ‘If the song is really dedicated to me...Well thank you very much....’ Wajahnya sedikit bingung, kemudian sedetik kemudian saya dan dia tertawa. Cukup. Saya hanya perlu bilang terimakasih. To brigthen up my ‘wake up in the morning’ situation....

 

"then U said go slow, i fall behind

the second hand of life

 If u lost u can look and u will find me

time after time

if u fall i will catch u ill be waiting

time after time..."

freezin' moment

Saya membuka sebuah folder dengan nama Freezin’ Moments.

 Sebuah gambaran gelak tawa menghambur. Ada yang pura2 tidak lihat kamera, ada yang flirting dengan teman yang sudah lama dikeceng, ada juga yang sok2 galau dengan gaya merem melek sambil memegangi kepala seolah sedang migren.

 Saya terbawa kedalam sebuah keadaan sentimental bernama kenangan. I usually hate this kind of moments. Yes, sentimental moments. Tapi begitulah adanya kalau tiba-tiba merasa kesepian. Memandangi sebuah potret kebersamaan akan membuat kamu bingung. Apakah harus menangis atau tertawa. Saya pilih tertawa. Mungkin orang-orang yang secara tidak sengaja melintas di depan kamar saya akan menganggap saya gila. Ah saya nggak segitu pedulinya. Tawa itu menenangkan.

 Saya sudah lama sekali menganggap folder itu harus saya hapus dari computer saya. Memorinya sudah mulai penuh, otomatis mekanisme sistem juga jadi lamban. Memori di otak saya sendiri saya pikir juga sudah mulai penuh. Anehnya dia tetap bekerja dalam performa penuh. Setiap cerita mengalir begitu saja. Memang dalam urutan yang random. Tapi semua detail sukses terbuka. Dan itu membuat saya merasa lengkap.

 Lalu buat apa juga saya merasa kesepian. Sebuah folder saja, telah sukses memicu folder-folder lain dalam otak saya. Mengingatkan saya pada sebuah kenyataan, saya punya banyak sekali saudara tak sedarah bernama teman. Sebuah keluarga yang tidak memiliki marga. Friendship.

 Saya lupa dan sekarang ingat lagi. Menyenangkan rasanya berada ditengah-tengah sebuah lingkaran pertemanan. Untung ada momen-momen beku yang bisa saya cairkan kapan saja. Have it, and you won’t feel alone….

 

 

 

 

 

bukan cinta

Apa namanya ya rasa menggelitik itu ?

Yang membuat matamu berbinar tak karuan dan penuh khayal.

No, not love if u answer my silly question.

Karena bukan cinta yang akan membuatmu berkhayal akan sesuatu.

Cinta hanya akan membuat rasa ingin memiliki itu muncul. Dan tentu saja sesuatu yang binal akan mengikuti. Lalu…cinta bukan jadi cinta lagi. Cinta jadi butuh. Cinta jadi terbiasa. Cinta jadi takut sakit.

Tapi, kalau rasa yang itu beda.

Rasa itu menghidupkan mimpi, mendebarkan jantung, membangkitkan harapan, mengundang kupu-kupu beterbangan di dalam perut. Geli tapi menyenangkan.

Sayangnya, kupu-kupu itu sering sekali cepat pergi, waktu rasa itu sudah berubah jadi keinginan. Keinginan yang mendorong rasa ingin tahu, meminta kepastian, mencari kepuasan atau malah, kenyataan yang menyakitkan.

Gagal menjadi rasa tak bernama yang menyenangkan, lalu kemudian memiliki wajah baru bernama cinta.

sebuah monolog yang mengganggu

“Kenapa rasanya sesak yah?”

“Sudah saya bilang...dilupakan cepat-cepat itu tidak enak.”

“Saya nggak pernah ingin melupakan. Kenapa orang ingin cepat-cepat melupakan?”

“Karena kamu tidak layak diingat. Kamu tidak seindah itu”

“Dia juga tidak seindah itu”

“Setidaknya kamu punya sesuatu yang indah sekarang. Dia hanya sedang mengusahakan miliknya”

“Dengan melupakan saya begitu cepat. Kasihan..dia hanya akan menemukan saya yang berbeda.”

“Sudahlah, terima saja kalau kamu dilupakan. Itu setimpal.”

“Tidak adil ketika kamu harus merasa sesak dan tidak tahu kenapa.”

“Kamu tahu kenapa, kamu baru saja dilupakan itu saja...”

 

Kau adalah darahku

Kau adalah jantungku

Kau adalah hidupku

Lengkapi diriku , oh sayangku kau begitu...sempurna

(andra and the backbone—sempurna)

 

Jalan-Jalan Sore Bersama

Pagi kemarin saya terbangun dengan kaget. Lho...kok tidak ada siapa-siapa di rumah ini. Maka beranjak dari kamar itu dan pulang ke rumah saya sendiri.

di perjalanan saya berpikir, mau menghabiskan sisa hari itu dengan bagaimana. Biasa-biasa saja ( baca : tidur, nonton tv, makan, nonton tv, tidur lagi),  seru (baca : pergi bersenang2 dengan teman-teman), atau entah bagaimana jadinya(baca : menelpon teman lama, mengajak pergi entah kemana, menghabiskan waktu bersama dia).

Saya memilih yang ketiga.

Saya telpon seorang teman yang baru pulang dari luar negeri, dan sudah lama tidak pernah ngobrol bareng. Untung saja dia mau diajak pergi.di titik itu saya masih tidak tahu bagaimana jadinya pergi bersama dia. Tujuan juga masih absurd.

Kami pergi ke sebuah mal yang sempat happening sebelum hadirnya PVJ di kota Bandung.
1. Membeli buku di gunung agung : saya menunggu setengah jam lebih karena dia tidak datang juga. Untung akhirnya saya menemukan buku bagus untuk alasan tidak marah2. Dia muncul cengar-cengir, dan tampak agak ragu juga, bagaimana jadinya bepergian hari ini bersama saya.
2. Ke 21cinema : Memilih film yang sebetulnya tidak terlalu ingin kami tonton.
3. Ke supermarket membeli cemilan tidak sehat : Begitu banyak yang ingin dibeli sampai bingung. Dasar, sama-sama tukang makan, dan tampaknya sama-sama pengkonsumsi msg yang setia.
4. Menonton "National Treasure" : Well film yang agak aneh. Kami tidak suka. Memang sih dari dulu selera film kami agak mirip. Yang berdarah2 ala Quentin Tarantino gitu. Lihat Nicholas Cage sok cool pasti males lah... Keluar sambil tertawa-tawa mengomentari film yang baru ditonton dan orang-orang aneh disekitar. Kangen juga dengar celetukannya yang aneh dan wajah besarnya memerah.
5. Makan di restoran Jepang bernuansa Padang : Hari mulai sore menuju malam. Tapi sehabis makan kami malah mengobrol lama sekali. Tentang Jepang, dia, Bandung, saya, kuliah yang menghawatirkan, cinta yang membuat penasaran, kehidupan yang keras, being almost mature yang menyebalkan, dan Tuhan yang tak kunjung datang untuk saya,dan sudah mendarat di hatinya.

Kami menghabiskan sesorean bersama, ditutup dengan perjalan pulang mengomentari segeromobolan anak ABG yang berdandan serupa. Terjerumus gaya (yang entahlah apa itu gaya atau bukan ) EMO dan skinny jeans warna warni.

Ketika sampai di rumah saya menulis msg ke HP nya.

we should hang out more. Dan nanti kita 'bersenang-senang' lagi...hihihi

msg sent.

Balasan diterima, berisi janjinya untuk bersenang-senang bersama lagi.

Mungkin lain kali dengan kegiatan yang lebih jelas, ata tempat yang lebih seru, atau film yang memang benar-benar kami suka.

Tapi satu hal yang saya tahu saya suka. Saya suka jalan-jalan sore bersama teman. Rasanya hangat, dan tidak sendirian.