Wednesday, July 7, 2010

bapak.papa.AYAH.daddy.pops


"Some people lost a big football match, while others had just lost a family member. World is really unpredictable, yes?"

***

Betapa menyesalnya saya ketika tidak sempat menerima telpon dan membalas message teman saya, soal kabar duka yang menimpa keluarganya secara tiba-tiba. Semuanya hanya karena keteledoran saya, yang lupa me-non-aktifkan mode silent di HP saya.

I really-really want to be someone who comfort her in this kind of situation.

***

Pulang makan malam itu, saya masuk ke kamar dengan kesal. Menyesalkan betapa tidak asiknya penjaga kosan saya, yang melarang pacar masuk, hingga saya tidak sempat cuddling dulu sebelum tidur. Atau menyesali betapa bodohnya saya yang membiarkan sebuah kewajiban menggantung begitu saja, hanya karena malas. Meratapi diri sendiri, yang sudah gagal memenuhi tantangan '30 HAri Menulis Blog' di hari ke-empat.

PLUS, sebuah hal yang selalu saya keluhkan setiap hari : "Kenapa ayah saya adalah orang seperti dirinya."

Semuanya nampak seperti keluhan wajar seorang anak, yang sedang bosan hidup begini-begini saja, sambil sesekali menyalahkan diri sendiri, dan mengkambing hitamkan cara ayah nya mendidik dan memperlakukan.

Sampai pacar saya datang,LAGI setelah mengantar saya pulang tadi, menggedor pintu rumah saya dengan panik. Katanya ayah sahabat kami meninggal.

Ya, sahabat saya yang tidak sempat saya balas message nya tadi. Saya menengok ponsel saya. Puluhan missed call, dan sepotong kata pendek di aplikasi Yahoo Messenger "Ginna..."

***

Dengan back sound dramatis sorakan dan umpatan serta bunyi vuvuzela dalam mode sayup-sayup, matanya kosong, ketika menceritakan sepotong kisah terakhir tentang sang ayah. Sekali-sekali cuma ada sekilas tawa miris. Ia takut tidak bisa melihat ayahnya untuk terakhir kali.

Entah kenapa, saya bisa merasakan semua emosi yang sedang dia rasakan, lalu mulai mengasosiasikannya dengan diri saya sendiri. Betapa saya tidak akur dengan ayah saya sendiri, selalu menuduhnya tidak pernah menghargai saya, dan jarang sekali mendengarkan pendapat saya. Tidak pernah puas, tidak pernah memuji, tidak pernah cukup menyayangi saya. Jarang menemani saya, seringnya hanya memarahi. Saya banyak menyalahkannya akan keadaan saya yang seperti sekarang. Akhirnya jarang mengunjungi, tidak menelpon, dan berhenti mengingat yang baik-baik soal beliau.

Anak durhaka, mungkin itulah saya.

Anak perempuan yang sedang berusaha berdamai dengan kenyataan, bahwa seorang ayah hanya berusaha menjalankan tugasnya.
***

Saat sedang menunggu sambil harap-harap cemas akan kepastian tiket pesawatnya, untuk mengantar ayahnya terakhir kali, dia membisiki saya, "Baik-baik lah sama bokap lo. Lo ga akan pernah tahu kapan bakal kehilangan..."

Saya merasa ingin menelpon ayah saya saat itu juga dan meminta ampun. Seperti biasa saya tidak melakukannya karena terlalu gengsi. Tapi di siang bolong itu, saya kembali mengingat sepotong-sepotong kenangan yang lucu bersama ayah.

Saya ingat digendongnya di pundak, dibilangnya pelan-pelan, bahwa saya adalah anak kesayangannya.

2 comments:

  1. Gw sedih baca postingan ini :-( apalagi persis di bagian ini "Baik-baik lah sama bokap lo. Lo ga akan pernah tahu kapan bakal kehilangan..."

    ReplyDelete
  2. :(
    turut berduka cita ya buat temen lo..
    haahh..masalah sm orangtua kynya emg semua juga punya gin..*sigh

    ReplyDelete