Sepotong tulisan bikinan sahabat :
Desember 2005
Oooowwww,,
Tiba-tiba back sound yang muncul adalah lagu secret garden, jelas yang terpercik dalam pikiran saya adalah satu nama..
Ginna,,
Juga berbagai hal yang berkaitan dengan nya..
Saya cukup mengenal karakternya walaupun kadang ada saja kelakuannya yang saya tidak mengerti,,
Maklum manusia itu padanya berbeda..
Dan memang pada dasar nya semua manusia itu unik..
Kalo saya memandang Gina, dia memiliki karakter yang cukup unik..
Dia karakternya Sangunui yang Populer bangetlah..
Emosional, spontanius, mudah berteman, dan lainnya..
Bila saya teringat tentang dia, pasti bibir saya akan memicing dan tersenyum..
Sekarang pun saat saya menulis ini, saya senyum-senyum sendiri..
Memang wanita yang aneh..
Dia selalu ingin menjadi wanita yang kuat,,
Jelas kuat, dengan jari kaki yang selalu bergerak-gerak dengan ga jelas..
Hmmm..
Sekarang dia sedang menghadapi konflik dengan pacarnya,,
Aduh Gee,,
Bukannya saya pengen ngebahas, cuman saya hanya menuangkan berbagai kata yang muncul dalam pikiran saya..
Ga apa-apa ya..
Jangan marah,,
Saya rasa
Ginna itu pengen..
Sebuah perhatian yang sederhana.
Sebuah perhatian yang layaknya diberikan kepada seorang wanita.
Sebuah keinginan untuk diperhatikan.
Sebuah keinginan untuk dimanja.
Sebuah keinginan untuk disayang
Sebuah keinginan untuk diperlakukan like ordinary woman.
Sebuah keinginan untuk menjadi prioritas, tidak perlu untuk selamanya tapi pada saat yang tepat.
Maybe she needs a little bit more attention..?
Dia berusaha menekankan pada dirinya bahwa dia harus kuat,,
Itu bagus, itu patut di beri acungan jempol
Tapi dia harus ingat pada kodratnya.
Dia itu wanita..
Wanita itu sensitif,
Wanita itu sangat-sangat emosional..
Menurut saya mungkin sudah saatnya tangis itu jatuh..
Sudah terlalu lama tangis itu bergantung..
Tangis itu sudah mulai lelah..
Menangis bukanlah suatu yang hina
Menangis itu hal yang normal,,
Cobalah tumpahkan semuanya,,
Tapi itu hanya merupakan pandangan saya,,
Saya hanya mengungkapkan apa yang ada dalam pikiran,,
Maap ya,,
Dua tahun kemudian, saya baru menyadari, apa yang di tulisnya mungkin benar. Saya akhirnya belajar menyayangi dan berbaikan dengan diri saya sendiri.
That's what friends are for
To reflect ourself in honest way
Because sometimes, people who cares knows better....
".....Who is that girl I see
Staring straight back at me
When will my reflection show
Who I am inside
I am now
In a world where I have to hide my heart
And what I believe in
But somehow
I will show the world
Whats inside my heart
And be loved for who I am...."
(Reflection, by : Christina Aguilera)
Wednesday, February 11, 2009
People are People
Bandung malam itu lumayan dingin. Saya harap-harap cemas menunggu kedatangan orang itu. Mantan pacar.
Semasa SMA. Benar-benar semasa SMA. Artinya saya sempat menghabiskan sebagian besar masa SMA saya bersama dia. Jenis mantan pacar yang menemani di masa paling memorable sekaligus paling labil dalam jenjang kehidupan kita.
Jenis mantan pacar seperti ini sangat berbahaya untuk dihadapi kembali. Baik dalam keadaan masih single, ataupun sudah punya pacar atau suami sekalipun. Riskan. Bisa-bisa dia terlihat lebih dewasa dan ganteng sedikit, cerita semasa SMA terulang lagi.
Tapi, dengan sangat wise, mantan pacar ini datang membawa pacarnya. Saya untungnya juga bersama beberapa teman, yang dengan baik hati mau mencoba menyelamatkan saya dari menjadi lalat pengganggu hubungan orang.
Wajahnya masih sama. Tingginya masih sama--tidak seberapa tinggi. Tangannya masih sama. Wanginya juga entah kenapa masih sama. Saya mendadak sentimentil. Mengingat masa-masa bersama dia yang sangat lucu kalau diingat sekarang.
Kalau kami awet dari dulu, harusnya saya sudah nikah sama dia sekarang, punya anak kembar yang hidungnya mancung-mancung seperti hidungnya--bukan seperti hidung saya. Kami punya semacam janji akan benar-benar nikah lima tahun dari waktu itu. And then live happily ever after. Keputusan yang sangat muda. Masih percaya bahwa hidup begitu mudah, seperti dalam cerita-cerita putri raja ala Disney.
Akhirnya, ketika kami sadar--waktu itu saya duluan yang sadar--bahwa hidup kami masih sangat panjang dan masih banyak kemungkinan dalam hidup kami,saya pergi. Meninggalkan marah, benci, dan lain-lain yang buruk-buruk di hati.
But thank god. We move on. We live our life, and grow up. End up sitting in the front of each other, without anger, with smile.
Dia hidup dengan baik-baik--he's goin' straight edge for god sake! Punya pacar baik-baik--trully nice girl! He's changed. But he looks happy.
Saya jadi teringat kata teman saya kepada seorang teman yang lain,
"Kalau mau hidup lo membaik, jadian sama Ginna. Tunggu diputusin. Sedih bentar. Habis itu niscaya lo jadi orang sukses."
Saya tertawa keras sekali waktu itu. Tapi mungkin benar juga, percaya nggak percaya sih. Beberapa tahun belakangan, ketika saya bertemu beberapa mantan pacar, perkembangan hidup mereka mencengangkan. Satu jadi pilot, satu udah mau jadi bapak, satu udah punya album sendiri dan jadi artis, satu lagi udah kerja di luar negeri, dll. Padahal, dulunya.....wah, jangan sampai harus saya sebut satu-satu aib mereka. Bisa-bisa ini jadi blog gossip, sekelas Gossip Girl.
People change.
I do believe that.
Meskipun wajah mereka belum berubah. Tinggi mereka tetap sama. Wangi mereka masih seperti yang teringat.
Tanpa harus jadian sama saya.
And somehow in a good way.
I re-think my self.
Apakah saya sudah berubah.
Kata orang saya berubah banyak. Ke arah yang buruk.
Hahahaha
I still believe I've changed in a good way. Because I am a part of people. People change. And what's so wrong about that....?
"...Refine, old time, colourblind
Big sign, do time, doesn't rhyme
A lot, to much, standing tall
And I'm crying in the valley:
“I shall never, ever fall!�?
People are people
and I feel so strong
People are people and I'm
going on...."
(People Are People, a song by D'sound)
Semasa SMA. Benar-benar semasa SMA. Artinya saya sempat menghabiskan sebagian besar masa SMA saya bersama dia. Jenis mantan pacar yang menemani di masa paling memorable sekaligus paling labil dalam jenjang kehidupan kita.
Jenis mantan pacar seperti ini sangat berbahaya untuk dihadapi kembali. Baik dalam keadaan masih single, ataupun sudah punya pacar atau suami sekalipun. Riskan. Bisa-bisa dia terlihat lebih dewasa dan ganteng sedikit, cerita semasa SMA terulang lagi.
Tapi, dengan sangat wise, mantan pacar ini datang membawa pacarnya. Saya untungnya juga bersama beberapa teman, yang dengan baik hati mau mencoba menyelamatkan saya dari menjadi lalat pengganggu hubungan orang.
Wajahnya masih sama. Tingginya masih sama--tidak seberapa tinggi. Tangannya masih sama. Wanginya juga entah kenapa masih sama. Saya mendadak sentimentil. Mengingat masa-masa bersama dia yang sangat lucu kalau diingat sekarang.
Kalau kami awet dari dulu, harusnya saya sudah nikah sama dia sekarang, punya anak kembar yang hidungnya mancung-mancung seperti hidungnya--bukan seperti hidung saya. Kami punya semacam janji akan benar-benar nikah lima tahun dari waktu itu. And then live happily ever after. Keputusan yang sangat muda. Masih percaya bahwa hidup begitu mudah, seperti dalam cerita-cerita putri raja ala Disney.
Akhirnya, ketika kami sadar--waktu itu saya duluan yang sadar--bahwa hidup kami masih sangat panjang dan masih banyak kemungkinan dalam hidup kami,saya pergi. Meninggalkan marah, benci, dan lain-lain yang buruk-buruk di hati.
But thank god. We move on. We live our life, and grow up. End up sitting in the front of each other, without anger, with smile.
Dia hidup dengan baik-baik--he's goin' straight edge for god sake! Punya pacar baik-baik--trully nice girl! He's changed. But he looks happy.
Saya jadi teringat kata teman saya kepada seorang teman yang lain,
"Kalau mau hidup lo membaik, jadian sama Ginna. Tunggu diputusin. Sedih bentar. Habis itu niscaya lo jadi orang sukses."
Saya tertawa keras sekali waktu itu. Tapi mungkin benar juga, percaya nggak percaya sih. Beberapa tahun belakangan, ketika saya bertemu beberapa mantan pacar, perkembangan hidup mereka mencengangkan. Satu jadi pilot, satu udah mau jadi bapak, satu udah punya album sendiri dan jadi artis, satu lagi udah kerja di luar negeri, dll. Padahal, dulunya.....wah, jangan sampai harus saya sebut satu-satu aib mereka. Bisa-bisa ini jadi blog gossip, sekelas Gossip Girl.
People change.
I do believe that.
Meskipun wajah mereka belum berubah. Tinggi mereka tetap sama. Wangi mereka masih seperti yang teringat.
Tanpa harus jadian sama saya.
And somehow in a good way.
I re-think my self.
Apakah saya sudah berubah.
Kata orang saya berubah banyak. Ke arah yang buruk.
Hahahaha
I still believe I've changed in a good way. Because I am a part of people. People change. And what's so wrong about that....?
"...Refine, old time, colourblind
Big sign, do time, doesn't rhyme
A lot, to much, standing tall
And I'm crying in the valley:
“I shall never, ever fall!�?
People are people
and I feel so strong
People are people and I'm
going on...."
(People Are People, a song by D'sound)
Sunday, February 8, 2009
my own glass of martini
Malam mulai larut dan saya mulai kesal, membayangkan malam minggu ini akan saya habiskan sendirian saja. Banyak orang mungkin akan mengatakan tak apa bila malam minggu tidak pergi keluar, biarlah itu jadi konsumsi ABG labil dan Geng motor yang masih suka nongkrong di Dago, malam minggu. Friday Night is the new Saturday Night. Saya kurang lebih percaya, laggipula malam minggu jalanan macet, saya benci macet. Tapi entah kenapa malam minggu ini saya tidak ingin sendirian. Mungkin karena sedang sedikit berselisih dengan teman dan pacar sedang sulit dipaksa beranjak dari kasurnya, saya ingin mencari kesenangan hari ini. Di malam minggu yang biasanya biasa-biasa saja.
Saya mengucapkan kalimat perpisahan lewat mic, dan tepat ketika saya keluar, beberapa orang teman mengajak saya bepergian. Oh thank God... Datang juga tawaran itu. Entah kenapa ada rasa malas yang amat sangat untuk mengajak orang pergi duluan. Terkesan sedikit desperate. Untung yang lain tidak berpikir begitu. Kalau tidak, siapa yang menyelamatkan saya dari malam minggu inii nantinya.
Sempat beberapa kali ganti personel, ganti acara, dan ganti tempat, akhirnya saya berakhir di sebuah cafe baru, bersama lima orang lainnya yang semua laki-laki. Saya menengok teman saya yang sedang memilah milih wine yang diinginkannya, agak lama. Tiba-tiba waitress yang kebetulan juga laki-laki dan sedari tadi menunggu dengan anteng,mulai memberikan saran-saran.
" Kalo boleh saya pilihkan, lebih baik pesan red wine bla bla ini (saya lupa namanya, bahasa Prancis kalau tidak salah). Selain harganya sedang diskon, cocok sekali untuk wanita," katanya dengan gaya profesional sambil melirik kepada saya.
Seolah teman saya itu--dan teman laki-laki yang lainnya--memilih minuman yang dicocok-cocokan dengan saya, seolah karena saya perempuan satu-satunya, sudah pasti saya memang cewek matre yang kemana-mana minta dibayari (tapi memang malam itu teman saya janji menraktir wine tanpa diminta), seolah karena saya perempuan, saya tidak bisa memilih minuman saya sendiri.
Well, jika waitress itu ingin berusaha mengistimewakan saya, dia salah. Entah perempuan lain, tapi saya agak malas menemukan kenyataan itu. Selalu malas, jika menemukan kenyataan, bahwa perempuan selalu dianggap mahluk yang lebih lebih labil, emosional, dan tidak mandiri, baik dalam bersikap maupun berpikir, dengan kedok kesopanan laki-laki.Ladies first ketika masuk ruangan, ladies night di club, ladies parking area di mall. Itu cuma sesuatu yang secara tidak sadar, mencoba membuktikan bahwa perempuan itu selalu manja. Bohong kalau orang bilang kita hidup di dunia kesetaraan. Setelah sekian lama, kita masih hidup di dunia patriarki, dimana wanita hanya penduduk nomor dua, yang menurut norma sosial, bahkan agama, harus selalu tunduk kepada laki-laki.
Saya perempuan, saya mandiri. Saya bisa memilih. Saya bebas. Saya menolak di nomor dua kan dengan embel-embel keistimewaan.
Maka malam itu saya memilih. Segelas Martini Lychee. Teman saya pun akhirnya tidak jadi memilih wine yang katanya cocok untuk wanita itu. Entah karena harganya terlalu mahal, entah karena dia mengerti perasaan saya, entah karena dia memang sedang tidak ingin saja, saya tetap lega.
" Minum Martini, kayak James Bond aja lo...." begitu kata teman saya.
I sipped my Martini with pride. Akhirnya dia mau coba. Yang lainnya juga.
"Enak ya... Manis !" Saya hanya tersenyum. Mungkin begitu rasanya memilih. Manis...
*So....Cheers everyone...!!!
To live our live in our own way, in a fine way....
"Cause I am a Superwoman
Yes I am
Yes she is
Even when I'm a mess
I still put on a vest
With an S on my chest
Oh yes
I'm a Superwoman"
(taken from '"Superwoman", a song by Alicia Keys)
Saya mengucapkan kalimat perpisahan lewat mic, dan tepat ketika saya keluar, beberapa orang teman mengajak saya bepergian. Oh thank God... Datang juga tawaran itu. Entah kenapa ada rasa malas yang amat sangat untuk mengajak orang pergi duluan. Terkesan sedikit desperate. Untung yang lain tidak berpikir begitu. Kalau tidak, siapa yang menyelamatkan saya dari malam minggu inii nantinya.
Sempat beberapa kali ganti personel, ganti acara, dan ganti tempat, akhirnya saya berakhir di sebuah cafe baru, bersama lima orang lainnya yang semua laki-laki. Saya menengok teman saya yang sedang memilah milih wine yang diinginkannya, agak lama. Tiba-tiba waitress yang kebetulan juga laki-laki dan sedari tadi menunggu dengan anteng,mulai memberikan saran-saran.
" Kalo boleh saya pilihkan, lebih baik pesan red wine bla bla ini (saya lupa namanya, bahasa Prancis kalau tidak salah). Selain harganya sedang diskon, cocok sekali untuk wanita," katanya dengan gaya profesional sambil melirik kepada saya.
Seolah teman saya itu--dan teman laki-laki yang lainnya--memilih minuman yang dicocok-cocokan dengan saya, seolah karena saya perempuan satu-satunya, sudah pasti saya memang cewek matre yang kemana-mana minta dibayari (tapi memang malam itu teman saya janji menraktir wine tanpa diminta), seolah karena saya perempuan, saya tidak bisa memilih minuman saya sendiri.
Well, jika waitress itu ingin berusaha mengistimewakan saya, dia salah. Entah perempuan lain, tapi saya agak malas menemukan kenyataan itu. Selalu malas, jika menemukan kenyataan, bahwa perempuan selalu dianggap mahluk yang lebih lebih labil, emosional, dan tidak mandiri, baik dalam bersikap maupun berpikir, dengan kedok kesopanan laki-laki.Ladies first ketika masuk ruangan, ladies night di club, ladies parking area di mall. Itu cuma sesuatu yang secara tidak sadar, mencoba membuktikan bahwa perempuan itu selalu manja. Bohong kalau orang bilang kita hidup di dunia kesetaraan. Setelah sekian lama, kita masih hidup di dunia patriarki, dimana wanita hanya penduduk nomor dua, yang menurut norma sosial, bahkan agama, harus selalu tunduk kepada laki-laki.
Saya perempuan, saya mandiri. Saya bisa memilih. Saya bebas. Saya menolak di nomor dua kan dengan embel-embel keistimewaan.
Maka malam itu saya memilih. Segelas Martini Lychee. Teman saya pun akhirnya tidak jadi memilih wine yang katanya cocok untuk wanita itu. Entah karena harganya terlalu mahal, entah karena dia mengerti perasaan saya, entah karena dia memang sedang tidak ingin saja, saya tetap lega.
" Minum Martini, kayak James Bond aja lo...." begitu kata teman saya.
I sipped my Martini with pride. Akhirnya dia mau coba. Yang lainnya juga.
"Enak ya... Manis !" Saya hanya tersenyum. Mungkin begitu rasanya memilih. Manis...
*So....Cheers everyone...!!!
To live our live in our own way, in a fine way....
"Cause I am a Superwoman
Yes I am
Yes she is
Even when I'm a mess
I still put on a vest
With an S on my chest
Oh yes
I'm a Superwoman"
(taken from '"Superwoman", a song by Alicia Keys)
Subscribe to:
Posts (Atom)