Saturday, January 26, 2008

11 matahari

Saya dan teman-teman sering sekali mengeluh kalau sudah menginjak daerah itu. Tempat ke arah luar kota Bandung, yang sayangnya menjadi lokasi sebuah institusi dimana kami harus menuntut ilmu—dan mengharuskan kami mengejar-ngejar bis kota setiap harinya. Bukan, bukan...bukan karena jauhnya. Kalau itu kami sudah maklum, bahkan lama-lama terbiasa, dan menjadikan kami merasa jaraknya wajar-wajar saja.

 

Mataharinya.

 

Aduh, setiap hari di sana sama seperti seminggu berjemur di pantai. Mataharinya bukan hanya menyinari, tapi menyeringai, bahkan menusuk. Teman saya bahkan sempat berteori, tampaknya matahari di sana ada dua. Huah....satu matahari saja sudah bikin pusing kalau lama-lama terkena sinarnya, belum lagi ditambah penipisan ozon, Bisa bikin kanker kulit. Ada dua matahari...bayangkan saja sendiri....double pusing...double kanker....

 

Sore itu saya juga baru pulang dari ”negeri dua matahari” itu. Saya tidak berharap menemukan matahari-matahari lainnya yang sejenis itu. Saya ingin matahari yang hangat, yang menyinari...bukan menyeringai. Telepon saya berdering. Katanya matahari saya akan pulang hari ini. Ah, akhirnya...ada juga matahari yang saya tidak keberatan lama-lama disinari.

 

Matahari.

 

Begitu saya biasa menyebut dia. Karena dia hangat dan menerangi. Dia menyebut saya bunga matahari. Saya tidak keberatan. Bunga matahari biasanya akan mencari sinar matahari. Saya punya banyak alasan untuk terus mencari dia. Saya juga yakin dia akan terus dengan sabar terbit untuk menerangi hari saya. Matahari memang seharusnya begitu, menyinari dengan sabar.

 

Saya menunggu agak lama, dan akhirnya melihat matahari saya berjalan menuju saya. Wajah lelah setelah perjalanan jauh dan kerepotan membawa barang-barangnya. Tangannya penuh... Satu tas di tangan kiri dan sesuatu berwarna kuning di tangan kanan. Benda itu begitu besar dan familiar, saya langsung mengenalinya sekali lihat.

 

Bunga Matahari.

 

Tanpa senyum yang berlebihan atau kata-kata pengantar yang picisan seperti tulisan saya ini, dia berikan bunga matahari itu. Bukan hanya satu, tapi sepuluh. Bukan juga untuk moment istimewa yang langsung sibuk saya ingat-ingat, tapi hanya karena ingin.

 

Benar mungkin kata orang tua. Hati-hati dengan apa yang kau inginkan. Kadang-kadang tidak selalu seperti harapan. Saya cuma ingin satu matahari, yang datang sebelas. Iya, sebelas. Bunga-bunga itu, dan dia sendiri.

 

Jadi, kalau dua matahari itu double pusing dan double kanker...

11 matahari = everything i could wish for....

 

 

4 comments:

  1. heumm, selamat buat 11 bunga mataharinya yah..bagaimana kalau ge mengganti judulnya dengan matahari picisan hehehehehe..tumben lo :)

    ReplyDelete