Friday, February 12, 2010

living in the box.

I write this thing, while everybody is having this important meeting behind me. In front of me there are a square empty dustbin, ouval wet washtafel, and a towel hanger that has no towel on it.

Yes, i'm not part of that important meeting group. I'm an outsider that happen to be here, put aside at the end of the room.

I'm having a great time. alone, at the corner.

***

Tinggal di kota ini--let's say it's Pandora, so i won't insulted anyone--membuat saya terbiasa harus menjadi bagian dari grup ini, atau geng anu. Di daerah tertentu adalah sekelompok geng motor anarki, yang sedang mabuk dan tidak membiarkan seorang pun lewat di sekitar mereka, tanpa perasaan takut dipukul. Di sisi kota yang lain ada sekolompok musisi indie, yang sedang membahas kemungkinan melebarkan sayap mereka ke sebuah cakupan yang lebih luas, tanpa keinginan untuk pergi dari kota. Di tengah kota , di depan sebuah institut seni terkemuka, sekelompok seniman muda sedang membuka sebuah diskusi kecil mengenai aturan kota yang tidak masuk akal, sehingga membatasi kreatifitas mereka ber-seni. Di sebuah toko buku indie di pinggir kota, sekelompok aktivis feminis sedang mengobrol soal bagaimana mereka bisa menyebarkan filosofi mereka, tanpa terdengar terlalu garis keras. Di sudut gelap yang lain, sekelompok musisi underground sedang marah-marah mengenai segala hal yang berbeda dengan mereka, geng motor yang anarki, musisi indie pop yang membosankan, seniman muda yang terikat selera kapitalis, dan para feminis yang mereka tidak mengerti.

Itu hanya sedikit dari kelompok-kelompok di kota ini.

Salahkan saya, yang tidak pernah ada di dalam salah satu dari kelompok tersebut, untuk mengetahui apa yang sebenarnya sedang mereka lakukan, tapi kota ini sangat terbiasa dengan stereotype.

Seorang teman baru, pelancong dari Estonia sempat bertanya pada saya, apakah orang-orang di kota ini memiliki pemikiran tertentu soal pendatang dengan warna kulit dan nuansa pupil mata berbeda. Saya menjawab, "Kota kami sangat terbuka dengan pendatang baru. Tidak ada sedikit pun rasisme besar semacam itu yang pernah terjadi disini. Kami hanya memusuhi orang-orang diluar interest kami."

Stereotype yang terjadi di kota ini hanyalah terbentuk berdasarkan ketertarikan terhadap satu hal. Dan rasisme di kota ini hanya terjadi, ketika seseorang yang merasa sangat individual tiba-tiba ingin mencoba blend in, dengan salah satu diantara kelompok dengan interest yang berbeda. Musik, seni, hobby, dan segala sesuatu yang bisa membuat orang bersatu, malah menjadi kotak-kotak sempit yang membuat orang terlalu nyaman, dan mulai menjadi tidak toleran terhadap individualitas.

Musuh kami adalah kota ini--sebut saja Pandora.

***


Living in this city is--literally--just like you're living in Pandora box. You'll never know, how odd it is to be just like YOU, untill you open the box. And there is no room for individuality.

I want to move somewhere, outside the box--as they say about think differently--and be accepted as individual me.

wish me luck.

***

For now,
every single corner is taken, so maybe i have to live side by side
with dustbin, washtafel, and towel hanger.

--------------------------------------------------------------------------------------

pict taken from : www.digitalmonkeys.wordpress.com

3 comments:

  1. detta likes this !! hahahaha...
    lo lagi tidak nyaman dengan zona nyaman ini ya? udah ngebet ke bali bo? :p

    ReplyDelete
  2. SANGAT!!!!

    wish me luck! *go to bali with me?*wink!

    ReplyDelete
  3. bali,hmm..very tempting..:p but i don't know..masih ada potensi dari kota pandora ini sebenernya..hidup disini bahkan masih jauh lebih baik daripada maksain diri hidup di "jekarda" like many other people choose.. dan gw lagi ada proyek pribadi yang pengen gw kerjain dulu..we should talk about this again later :D

    ReplyDelete