“Orang buta, mimpinya apa...?” Dan hanya dengan sepatah pertanyaan, obrolan setengah empat pagi pun dimulai kembali.
***
Tidur, apa itu tidur? Seolah tidak punya waktu seharian penuh untuk bisa ngobrol, kami seringkali justru mulai saling menyapa di tengah malam. Ritualnya selalu sama. Dibuka dengan pertanyaan-pertanyaan filosofis seperti, “Kehidupan itu memangnya harus membosankan, ya?” Atau, “Apa sih gunanya pernikahan?” Bahkan bisa jadi mempertanyakan hal yang paling sulit ditemukan jawabannya, “Tuhan ini laki-laki atau perempuan, sih?”
Sisanya kami akan bolak balik saling mengingatkan, “Soulmate itu bukannya ditakdirkan bersama?” Lalu dari situ, seringnya diskusi akan berlanjut dengan menelusuri–atau lebih tepatnya mengenang–pengalaman sekali seumur hidup masing-masing menemukan the-rare-kindred-spirit. Tak akan habis pembahasan. Bisa jadi berbelok ke masa-masa di Bandung yang cukup kelam sekaligus mengubah hidup. Cerita tentang pernah makan nasi bungkus berdua karena sisa uang sudah mulai menipis. Kisah tentang pertengkaran paling parah dalam sejarah––waktu itu saya mengusirnya dari rumahnya sendiri, cukup absurd kalau dipikirkan lagi jernih-jernih. Berlanjut ke sebuah kenangan pertama kali kami bertemu, yang ternyata dimulai jauh lebih awal dari momen resminya sendiri.
Seringkali kami juga memikirkan, “Kenapa tidak ada yang romantis di Jakarta?” Pertanyaan yang sebenarnya lebih berupa keluhan. Sebuah ketidakpuasan akan bagaimana pada akhirnya kami menghabiskan begitu banyak energi, untuk mencoba menjalani urusan-urusan yang tidak lagi melibatkan hati. Kemudian kami akan melontarkan teori-teori omong kosong tentang passion, determinasi, kemapanan, hingga ketuhanan yang tak sesuai kenyataan. Toh akhirnya kami pasrah menjalani keseharian yang begitu-begitu saja. Bahkan seringnya berjauhan, terpisah dunia pekerjaan. Tidak bisa selalu saling mengingatkan kalau hidup perlu di-pause sesekali, untuk pencet tombol play pada pemutar musik, dan lalu menari kecil tanpa konteks yang jelas.
Katanya itulah bagaimana manusia beranjak dewasa, menua dalam konsep umur. Mulai melupakan hal-hal kecil yang menghangatkan hati, karena terlalu sibuk memikirkan keduniaan yang seringnya membuat rasa jadi kelewat beku. Mulai menghiraukan uniknya ritme nafas sendiri, terengah-engah karena tidak sadar ikut arus yang dibuat orang lain. Mulai menidurkan pikiran-pikiran intens yang menggerakkan jiwa, atas nama hidup yang memaksa terus bangun meski tanpa idealisme. Mulai bergerak berlawanan arah, demi berlari menemukan tujuan yang tidak kunjung jelas ujungnya.
Mungkin salah satu dari semua hal di atas, atau perpaduan semuanya, yang menjauhkan kami dari kegemaran kami akan obrolan setengah empat pagi. Namun kalau memang itu arti menua, saya paham kenapa dari dulu kami selalu menolak menjadinya.
***
Dalam sebuah kesempatan akhirnya kami berhasil mengetahui, orang buta bermimpi tidak melalui apa yang pernah dilihat, tapi lewat apa yang didengar dan dirasakannya. Sebuah jawaban yang melegakan. Terbukti secara ilmiah kami tidak tahu pasti, yang jelas mengetahui siapa saja bisa merasakan sensasi mimpi itu lumayan mengangkat beban pikiran.
Sebelumnya saya akan sengaja mengalihkan fokus dengan pertanyaan lain yang lebih mudah dijawab, “Mau pesen mekdi nggak?” Di tengah obrolan setengah empat pagi? "Iya. Kenapa nggak?"
***