Nanti. Sebuah kata paling beracun yang bisa seseorang
ucapkan pada dirinya sendiri. Apalagi ketika ‘nanti’ kemudian menjadi jawaban
dari semua pertanyaan, yang lalu menjadi kebiasaan.
***
Time waits for nobody. Begitu katanya.
Sama seperti banyak orang, saya mempercayainya sebesar saya
mempercayai keberadaan Tuhan. Berkiblat pada waktu, karena meskipun waktu tidak
berbentuk, rasanya begitu nyata. Membuat kita selalu terkejar-kejar. Dalam
berbagai bentuk tentunya. Alarm yang tidak pernah absen setiap pagi, deadline
yang—entah kenapa—selalu datang sebagai rombongan, dan kesepakatan bersama yang
diciptakan masyarakat entah sejak kapan. Semuanya seolah serempak tak
menyisakan sebuah kesempatan untuk berdiam sebentar.
Lalu, muncul lah kata ‘nanti’.
Setiap saat kita minta pada diri kita untuk menyisakan sedikit dari waktu yang ada
benar-benar untuk diri kita sendiri. Melakukan hal yang benar-benar kita sukai.
Sejenak berpikir tentang bukan apa-apa.
Nanti. Nanti. Nanti. Nanti. Nanti.
Dan suatu hari,
‘nanti’ berubah menjadi tidak sama sekali.
***
1.
Duduk diam di warung pancake kecil di tepi
jalan, tidak melakukan apa-apa selain bengong merasakan angin.
2.
Mencari lagu-lagu baru, menyusun mixtape dan
memberikannya pada seseorang yang berarti.
3.
Menyelesaikan buku-buku yang baru sempat terbaca
setengah.
4.
Mendengarkan lagu di kamar dengan lampu mati
sambil mengkhayal.
5.
Mengobrol dini hari dengan sahabat tanpa harus
khawatir tentang besok pagi.
Lima dari begitu banyak hal tidak penting yang hampir
terlupa betapa saya senang melakukannya. Karena selalu lebih mudah berkata
nanti untuk diri sendiri daripada untuk orang lain. Karena sempat lupa bahwa
ada saatnya melambat itu bukan masalah. Karena terlambat menyadari bahwa waktu
hanya mengejar mereka yang tidak tahu caranya menyesuaikan ritme.
Saya tersenyum.
Saatnya berkata ‘nanti
dulu’ pada nanti.
***
No comments:
Post a Comment