Saya memasuki kamar saya sendiri dengan rasa aneh. Ada bau khas yang masih saya ingat, dari bau menyengat campuran obat nyamuk, kapur barus kamar mandi, dan kura-kura yang jarang saya urus. Tapi dibanding hidung, kuping saya lebih tidak nyaman. Ada bunyi “nggging” kesunyian yang selalu saya benci. Saya segera menyalakan televisi, yang tengah menayangkan sepotong adegan sinetron tidak bermutu. Tidak penting. Yang penting bunyi tidak enak di kuping itu hilang.
Asing di kamar sendiri.
Mungkin itu kalimat yang paling tepat menggambarkan apa yang saya sedang rasakan ini. Saya terlalu banyak berada di kamar orang lain. Kamar dengan bau yang juga khas. Percampuran jamur lembab, wangi tubuhnya yang manis, dan obat nyamuk yang sama dengan milik saya di kamar. Mungkin obat nyamuk itu yang bikin saya betah berlama-lama disana, karena mengingatkan saya akan kamar saya sendiri, dan mengingatkan saya akan rumah. Mungkin juga karena bau jamur lembab yang lekat sekali dengan nuansa kota ini yang dingin. Atau bisa jadi, karena wangi tubuhnya, dan dia selalu ada di kamar itu. Dia ada dan tidak ada, tidak berbeda rasanya. Dia selalu memenuhi kamar itu.
Kalau sedang ada, dia biasanya membaca di pojokan. Membaca apa saja. Novel, majalah lama, komik Donal dan Sinchan yang membuatnya tertawa sendiri, atau membaca tulisan tangannya sendiri yang memenuhi seluruh tembok di dekat tempat tidur. Saya dengan sok sopan akan datang mengganggu dengan pertanyaan semacam, “boleh tidur disini lagi”, atau kalau tidak mengeluh tentang lantai yang selalu berdebu membbuat saya gatal dan tumpukan pakaian kotor yang membuat tangan saya gatal ingin menggotong semuanya ke laundry.
Sudah semacam yang punya kamar itu memang saya ini. Terlalu peduli sama isinya, sampai suka bersih-bersih tanpa diminta. Tas-tas saya juga pasti ada saja yang teronggok di dekat pintu masuk. Kakaknya bahkan pernah berkomentar, “bantal disini pasti isinya jigong lu semua...!” saya hanya tertawa dan bilang sialan. Tidak enak hati karena terlalu sering numpang, tapi sisi hati yang lain terlalu merasa nyaman.
Apalagi kalau pintu itu sudah ditutup. Dia akan mulai menyusun bantal-bantal kesayangannya di karpet lalu mematikan lampu dan tidur dengan posisi yang membuat punggungnya sakit hingga sekarang. Saya memandanginya dalam gelap. Cuma dalam keadaan itu saya bisa melihat dia dengan cara yang berbeda. Peaceful. Tidak gundah dan gusar seperti biasanya. Hanya begitu caranya, agar saya bisa merasa memiliki.
Dalam terang dia biasanya gelap. Tak terjamah tangan saya yang bahkan jarang ingin menyentuh. Takut tidak terbalas.
Memang hanya dalam ruang gelap itu saya merasa nyaman. Karena seperti yang saya bilang tadi, dia memenuhi ruangan, dan mudah bagi saya untuk merasakannya.
Tapi siang itu, saya memutuskan untuk mengumpulkan semua barang-barang saya dan menjejalkannya kedalam tas-tas yang biasanya saya biarkan teronggok di depan pintu. Entah karena apa. Saya hanya berpikir, mungkin saya harus kembali ke persembunyian saya sendiri. Memikirkan banyak hal, tanpa auranya yang terlalu terasa. Mungkin dia juga harus memikirkan banyak hal tanpa kontaminasi suara dengkur dan igau saya. Biar saja saya jauh dari rasa aman. Saya harus menemukannya dalam terang. Lewat kesendirian yang asing. Mungkin...