Saya menangis di tengah hujan dan kesendirian.
Sebuah kombinasi yang sangat pas memang. Hujan, sendirian, lalu kesepian. Saya membuka sebuah album kenangan berisi kisah cinta kekanak-kanakan yang saya miliki dahulu. Entah kenapa saya merasa album itu sudah cukup lama tidak tersentuh dan harus dibuka malam itu. Bukan kombinasi yang tepat sebetulnya. Hujan, sepi, sendiri, dan kenangan... Seperti yang saya duga, hanya akan membawa kegalauan. Saya terus membuka album itu. Tokoh di dalamnya seolah bergerak-gerak. Saya sedang menonton sebuah film pendek, berisikan sebuah perjalanan. Perjalanan panjang berumur pendek yang harus diakhiri dengan kalimat benci.
Saya ingat pernah mengirim sebuah kartu bertulisan kurang lebih “love is a journey, and I’m glad to have this journey with you.” Picisan. Teman saya membacanya keras-keras dan menjadikannya ejekan selama beberapa lama. Tapi memang tak pernah sama artinya ketika memang ditujukan untuk seseorang. Dia menyimpannya di sebuah tempat yang rapih, membawanya kemanapun dia pergi. Itu jimat, katanya.
Sebulan setelahnya, dia merobek kartu itu, dan melemparkannya di depan muka saya—yang juga masih saya ingat betul. Saya tidak pernah melihat kebencian yang begitu besar—well mungkin lebih tepatnya kekecewaan—dari tatapan seseorang. Tapi dia melakukannya malam itu, dan saya seketika takut. Takut mengambil jalann yang salah.
Saya ingat saya pernah memohonnya untuk mengerti saja dan tidak pergi. Saat itu dia terlihat sangat menginginkannya, tapi saya tahu hatinya tidak. Lalu dia mengabulkan permintaan saya. Saya tahu itu pasti terjadi.
Beberapa lama kemudian saya menemukan saya menginginkan hal yang sama seperti yang diinginkannya dulu. Dia memohon dan meminta. Menagih janji, menangis, dan merengkuh saya dalam-dalam. Saya kosong, tidak bergeming.
Saya ingat saya pernah menyanyikan sebait lagu Grow Old with You. Saya bilang lagu itu untuk dia. Waktu itu saya mempunyai sekelebat gambaran keluarga yang saya miliki sendiri. Dia ada di dalamnya.
Beberapa waktu sebelum cerita itu berakhir, kami duduk berdua di pinggir jalan. Makan siang seperti biasa. Yang tidak biasa, katanya pagi itu dia melihat gambaran masa depannya. Bak mandi dan jamban saksinya. Katanya saya harus melengkapi gambaran itu.
Saya ingat dia selalu menjadi orang yang tidak tahu kompromi. Saya memakai sebuah jaket buerbunga yang sangat dia benci. Dia mengeluh terus dan saya tidak mau dengar. Bertengkar. Gara-gara sepotong jaket berbunga warna orange. Akhirnya saya tetap tidak mau membuka jaket itu. Dia cemberut, tapi tetap berjalan di belakang saya.
Beberapa waktu kemudian saya ingin memakai jaket itu lagi. Tapi saya tidak bisa menemukannya dimanapun. Saya teringat kisah jaket berbunga warna orange. Tampak dia tertinggal di sebuah kendaraan beraroma bunga berwarna orange.
Saya ingat suatu siang yang panas. Saya terus-terusan menengok ke belakang. Menunggunya berpindah ke samping saya dan menggandeng saya. Dia tetap berjalan di belakang saya.
Saya selalu minta dia untuk berjalan di samping saya. Tapi dia lebih suka melihat saya dari belakang. Menjaga saya dari belakang. Begitu katanya.
Saya ingat berjalan di sebuah keramaian dan menemukan seseorang yang suka sekali mengabadikan moment. Dia mengeluarkan sebuah kamera dari kantongnya, dan dengan tanpa alasan membidik ke arah crowd. Saya berdiri di sebelahnya memandangi.
Saya juga suka mengabadikan moment. Namun saya melakukannya dengan mata dan hati.
Maka saya simpan semuanya dalam satu album. Semoga dia juga punya album miliknya. Semoga dia juga belum mengganti posisi album itu di urutan teratas. Sebab ketika dia pikir saya telah menukarnya dengan album yang lebih baru, dia hanya lupa. Saya sangat suka mengabadikan moment...bersama dia.